"Pemerintah tidak dapat bekerja sendiri dalam mengimplementasikan kebijakan dan program yang efektif pada gender. Pemerintah harus membangun aliansi dengan seluruh stakeholder berdasarkan prinsip inklusifitas, saling menguntungkan, dan partisipasi yang berarti, untuk mempromosikan kolaborasi yg lebih kuat. Kita juga harus menguatkan kerangka institusi dan kerangka hukum di setiap level," ungkap Menteri Yohana saat memulai sesi diskusi para Menteri Pemberdayaan Perempuan di Sidang CSW PBB ke-60, dalam keterangan tertulis PTRI New YOrk, yang diterima Metrotvnews.com, Kamis (17/3/2016).
Dalam pernyataan intervensinya di Sidang CSW-60, Menteri Yohana menegaskan dalam menghadapi ketidaksetaraan gender, diskriminasi, dan mengeleminasi kekerasan berbasis gender, Indonesia telah meluncurkan Gender Mainstreaming Strategy (GMS) pada tahun 2000 yang telah terintegrasi dalam Rencana Pembangunan Nasional Jangka Menengah 2015-2019. GMS menghasilkan kerangka kerja antar kementerian di level nasional dan sub nasional, yang menghasilkan perencanaan, penganggaran, implementasi, monitoring dan evaluasi program yang berkaitan dgn program gender lebih sistematis dan terkoordinasi.
Pada 2014 sendiri, empat kementerian kunci, yaitu Bappenas, Kemenkeu, Kemendagri, serta Kemen PP&PA meluncurkan Strategi Nasional untuk mengakselerasikan pengarusutamaan gender. "Kami sudah membangun kelompok kerja gender dan titik fokus gender pada masing-masing kementerian dan institusi pemerintah lokal untuk memungkinkan koordinasi di tingkat teknis dan mengatur sekretariat bersama untuk mengkoordinasikan perencanaan dan penganggaran yang responsif gender," lanjut Yohana.
Pembentukan aliansi menjadi penting secara eksternal di tiap level dengan stakeholder non pemerintah. Melalui hal tersebut, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak juga terus melanjutkan untuk memperbaiki kapasitas nasionalnya dalam mempromosikan kerjasama dengan stakeholder, diantaranya adalah Komnas Perempuan, Komisi Nasional Perlindungan Anak, dan KOWANI.
Pada 2015, Kementerian PP&PA telah membentuk unit baru dibawah kementerian yaitu Partisipasi Masyarakat yang dimandatkan untuk mendorong dan mendukung kerjasama dengan organisasi perempuan, organisasi agama, dan pihak swasta. Perempuan kelahiran Biak ini pun menyatakan bahwa kementeriannya juga telah mempelopori sejumlah program dengan stakeholder non pemerintah. Sebagai contoh, mendukung pihak swasta untuk membentuk APSAI.
Salah satu praktek aliansi terbaik Kementerian PP&PA adalah mengakhiri kekerasan terhadap perempuan dan anak perempuan termasuk perdagangan manusia. Pemerintah memiliki kebijakan untuk membentuk pelayanan terintegrasi untuk perempuan dan anak perempuan di tingkat provinsi dan kabupaten.
Terkait kebijakan ini, Kementerian PP&PA membangun koordinasi antar institusi pemerintah, termasuk diantaranya penegak hukum, dari sektor sosial, dan kesehatan. Dengan skema ini, Kemen PP&PA telah membangun Pusat Layanan terintegrasi (P2TP2A) di 32 provinsi dan 272 kabupaten di seluruh Indonesia. Sebagai pelayanan tambahan, P2TP2A juga menyediakan informasi terkait untuk korban dan juga pelatihan bagi perempuan korban kekerasan untuk pemberdayaan ekonomi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News