Reuters melansir pada Kamis 20 April 2017, dua tahun merayakan hari kemerdekaan, tepatnya Desember 2013, Sudan Selatan justru masuk ke arena konflik. Kisruh yang dipicu persaingan antara Presiden Salva Kiir dan Wakil Presiden, Riek Machar, meledak menjadi kekerasan.
Kesepakatan damai yang ditandatangani pada 2015 tidak berjalan. Justru, yang terjadi adalah kecurigaan terus-menerus antara Machar dan Kiir dan memicu pertempuran pada Juli 2016. Kekerasan dilaporkan telah menyebar ke daerah-daerah besar negara.
Eugene Owusu, warga PBB dan koordinator kemanusiaan di Sudan Selatan, memprediksi 1,9 juta orang warga jadi pengungsi di negeri sendiri. Sedangkan 1,6 juta lainnya menjadi pengungsi di negara tetangga.
Beberapa pekan terakhir, pertempuran melanda kota-kota di Sudan Selatan, tepatnya di Equatoria. Warga sipil yang berhasil melarikan diri menyebut pasukan pemerintah melakukan tindak kekerasan terhadap warga sipil.
Owusu mengatakan, para pekerja kemanusiaan lainnya diganggu di seluruh wilayah itu. Pasokan logistik juga telah dijarah dan dirusak, seperti di Jonglei, Kajo-Keiji, Yei, Wau Shilluk, dan daerah Mayendit pada Februari dan Maret 2017.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News