Jakarta: Delegasi Indonesia mengadakan kegiatan diskusi ‘Tata Kelola Perikanan Laut Lepas’ di sela acara World Ocean Summit, Abu Dhabi, Uni Emirat Arab. Kegiatan ini dimaksudkan untuk mengumpulkan masukan terhadap rancangan laporan ‘Reforming High Seas Fisheries Governance’.
Laporan tersebut disusun Kelompok Kerja Menteri Kelautan dan Perikanan untuk Perlindungan Sumber daya dan Pengamanan di Laut Lepas. Mantan Menteri Luar Negeri RI Hassan Wirajuda, yang juga ketua kelompok kerja mengatakan, tata kelola perikanan laut lepas dipandang kurang baik dan menyeluruh.
Tak hanya itu, pengaturan yang ada tidak diimplementasikan secara efektif. Penegakan hukum negara bendera juga dianggap lemah, dan koordinasi antarorganisasi terkait dengan negara kurang.
Anggota kelompok kerja, yang adalah koordinator Staf Khusus SATGAS 115, Achmad Santosa, mengatakan tata kelola yang kurang baik ini membuat penangkapan ikan secara ilegal semakin marak. Karenanya, harus ada pengaturan mengenai kegiatan alih muat di laut.
“Maraknya penangkapan ikan secara ilegal ini juga disebabkan subsidi perikanan yang menyebabkan eksploitasi berlebihan dan penggunaan flags of convenience, cotohnya kasus FV Viking, STS 50, dan Silver Sea 2,” kata Achmad Santosa, dikutip dari keterangan tertulis Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) yang diterima Medcom.id, Kamis 7 Maret 2019.
Selain kasus penangkapan ikan secara ilegal, dalam diskusi tersebut juga dibahas mengenai praktik perdagangan orang dan perbudakan yang terjadi pada ribuan anak buah kapal (ABK) di laut. Indonesia memberi contoh kasus, Pusaka Benjina Resources, di mana 682 ABK dari beberapa negara menjadi korban.
Pada kegiatan diskusi ini, kelompok kerja mendapat masukan dari tokoh-tokoh internasional yang dikenal aktif dalam memperjuangkan keberlanjutan sumber daya laut lepas. Mereka adalah Dr. Enric Sala dari National Geographic, Dr. Rashid Sumaila dari University of British Columbia, dan Tony Long dari Global Fishing Watch.
Ketiga tokoh ini juga mengapresiasi inisiatif Indonesia untuk aktif mengampanyekan pentingnya keberlanjutan sumber daya laut lepas dan keamanan maritim.
Enric Sala dan Rashid Sumaila mengatakan sumber daya perikanan di laut lepas sebenarnya dapat dinikmati oleh semua negara, namun kenyataannya hanya dinikmati beberapa negara nelayan jauh dengan kapasitas eksploitasi sangat tinggi. Sementara Tony Long menambahkan kapal-kapal milik negara tersebut akan terus melakukan pelanggaran di laut lepas karena lemahnya monitoring.
Masukan juga datang dari Uni Eropa, PEW Charitable Trust dan beberapa akademisi dari University of California dan Oxford University. Rekomendasi sangat berbeda-beda, mulai dari penutupan seluruh laut lepas dari kegiatan penangkapan ikan untuk konservasi, penetapan moratorium untuk beberapa wilayah laut lepas, dan pembenahan tata kelola perikanan untuk mengubah beberapa pengaturan seperti transparansi, beban pembuktian, dan pemberian sanksi.
Laporan akhir Kelompok Kerja diharapkan sebagai masukan terhadap pengembangan kertas kerja tingkat tinggi dalam keberlanjutan ekonomi samudra, yang akan bertemu dalam side event Sidang Majelis Umum PBB 2019 di New York dan forum kelautan seperti UN Ocean Conference 2020, dan OOC 2019 di Oslo Norwegia.
Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow akun google news Medcom.id