Ribuan pedemo turun ke jalanan usai pemimpin Hong Kong Carrie Lam menerapkan aturan tersebut pada Jumat 4 Oktober. Sejumlah demonstran kesal dan merusak stasiun bawah tanah serta deretan pertokoan sepanjang Sabtu kemarin.
Larangan penggunaan masker merupakan bagian dari Emergency Regulation Ordinances -- hukum era kolonial yang memungkinkan diterapkannya aturan apapun saat Hong Kong berada dalam status darurat.
Mencoba melawan Carrie Lam, sejumlah pengunjuk rasa pro-demokrasi melayangkan gugatan ke Pengadilan Tinggi Hong Kong. Mereka berargumen bahwa larangan penggunaan masker disahkan tanpa melewati persetujuan parlemen, sehingga otomatis melanggar konstitusi.
Namun, dilansir dari laman Voice of America, Minggu 6 Oktober 2019, seorang hakim senior Hong Kong menolak gugatan tersebut.
Saat pengadilan menolak gugatan, dua unjuk rasa tanpa izin digelar di dua sisi area Victoria Harbor. Ribuan pedemo bertopeng berkumpul di wilayah tersebut, meski Hong Kong tengah diguyur hujan deras.
"Saya berani bilang ini adalah salah satu kasus konstitusi terbesar dalam sejarah Hong Kong," ucap seorang anggota parlemen Dennis Kwok kepada awak media sebelum pengadilan mengeluarkan putusan.
"Jika aturan darurat ini diberlakukan begitu saja, maka Hong Kong akan terjerembab ke lubang yang sangat gelap," lanjut dia.
Gelombang protes di Hong Kong berawal dari penolakan terhadap Rancangan Undang-Undang Ekstradisi. Aksi protes tetap berlanjut meski RUU Ekstradisi dicabut, dan kini meluas menjadi gerakan pro-demokrasi dan penentangan terhadap Hong Kong serta Tiongkok.
Hong Kong adalah bekas koloni Inggris, yang sudah dikembalikan ke Tiongkok pada 1997 di bawah sistem "Satu Negara, Dua Sistem." Sistem tersebut menjamin otonomi Hong Kong.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News