Warga beraktivitas di tengah pemberlakuan lockdown parsial di Shanghai, Tiongkok, 8 Oktober 2022. (Hector RETAMAL / AFP)
Warga beraktivitas di tengah pemberlakuan lockdown parsial di Shanghai, Tiongkok, 8 Oktober 2022. (Hector RETAMAL / AFP)

Kebijakan Nol Covid-19 di Tiongkok Terus Mendapat Sorotan Luas

M Rodhi Aulia • 16 Desember 2022 07:39
Jakarta: Langkah Pemerintah Tiongkok dalam mengatasi pandemi Covid-19 dinilai sudah melewati batas kewajaran. Pasalnya, kebijakan yang diambil sangat antimainstream di tengah upaya hampir semua negara menuju normalisasi.
 
Tiongkok dilihat sedang melakukan kebijakan nol Covid-19 dengan melakukan serangkaian pembatasan kegiatan masyarakat secara ekstrem. Di antaranya lockdown ketat di Beijing.  
 
Tentu ini menimbulkan dampak yang sangat luas seperti dirasakan dalam beberapa tahun terakhir. Warga negara setempat merespons dengan aksi atau unjuk rasa menentang kebijakan tersebut secara terbuka.

Pemandangan ini diyakini cukup langka di Tiongkok. Sebab, hampir tidak ada aksi yang menyuarakan pendapat antipemerintah dilakukan secara terang-benderang karena dapat menimbulkan konsekuensi serius.
 
Gelombang penolakan ini rupanya mendapat sorotan luas. Sejumlah tokoh yang tersebar di berbagai negara lain ikut menyoroti penolakan kebijakan Pemerintah Tiongkok.
 
Mantan Perdana Menteri Australia, Kevin Rudd, menyebut protes yang belum pernah terjadi sebelumnya di berbagai kota di Tiongkok terhadap kebijakan nol Covid, berasal dari ketidakpercayaan rakyat Tiongkok terhadap rezim Presiden Xi Jinping.
 
Kevin Rudd mengatakan protes atau unjuk rasa rakyat Tiongkok saat ini terlihat lebih dari tindakan penolakan kebijakan nol Covid, namun ada hal mendasar lainnya.
 
“Ini sekarang adalah metafora untuk ketidakpercayaan yang lebih luas di pihak rakyat Tiongkok terhadap berbagai aspek dari apa yang dilakukan rezim Xi Jinping. Tampaknya demo ini tidak terkoordinasi secara terpusat, dengan kata lain ini spontanitas rakyat Tiongkok,” kata Rudd.
 
Menteri Luar Negeri Inggris James Cleverly juga ikut memberi tanggapan. Ia menilai aksi ini merupakan cerminan warga Tiongkok keberatan terhadap kebijakan pemerintah dalam mencegah penularan Covid-19.
 
"Adalah tepat bagi pemerintah Tiongkok untuk mendengarkan apa yang dikatakan orang-orang ini,” kata Cleverly beberapa waktu lalu.
 
Pula, Amerika Serikat. Melalui Gedung Putih, Amerika terus memantau dengan cermat perkembangan di Tiongkok. Amerika akan terus berdiri paling depan dalam mendukung hak-hak demonstran rakyat Tiongkok yang damai.
 
Koordinator Komunikasi Strategis Dewan Keamanan Nasional Gedung Putih, John Kirby mengatakan, pihaknya mendukung penuh aksi dilakukan secara damai. Amerika akan tetap konsisten dengan cara-cara damai.
 
“Orang Tiongkok harus diberi hak untuk berkumpul dan memprotes secara damai terhadap kebijakan atau undang-undang atau perintah. Kami mengawasinya dengan cermat ke mana arahnya dan kami terus berdiri dan mendukung hak untuk protes damai," kata John Kirby.
 
Kirby mengatakan Presiden Joe Biden terus mengikuti apa yang terjadi di Tiongkok. Keyakinan kuat Presiden Joe Biden pada kekuatan demokrasi dan institusi demokrasi adalah hal penting yang tidak berubah.
 
“Ini adalah momen untuk menegaskan kembali apa yang kami yakini terkait dengan kebebasan berkumpul dan protes damai. Kami telah melakukannya dan kami akan terus melakukannya," ungkap Kirby.
 
Senator Ted Cruz yang didapuk menjadi anggota Komite Hubungan Luar Negeri Senat Amerika Serikat mengatakan bahwa sejak pandemi dimulai, Partai Komunis Tiongkok berusaha mati-matian untuk menutupi asal usul, sifat, dan akibat dari Covid-19.
 
Ted menilai Beijing telah berbohong dan terus berbohong kepada dunia, sehingga jutaan nyawa telah hilang dan penderitaan yang luar biasa telah terjadi gegara Covid asal Tiongok
 
Dalam kesempatan terpisah, Center for Indonesian Domestic and Foreign Policy Studies (Centris) menilai sangat wajar jika sejumlah negara dunia mengkritisi kebijakan nol Covid oleh otoritas Tiongkok. Hal ini mengingat telah banyak korban jiwa akibat lockdown ketat yang dilakukan Beijing.
 
Peneliti senior Centris, AB Solissa menyebut selain dapat membunuh rakyatnya sendiri, keselamatan warga negara asing di Tiongkok juga menjadi perhatian negara-negara dunia yang memiliki perwakilan di Tiongkok.
 
“10 warga Tiongkok di apartemen yang tewas terbakar dan dikunci oleh Otoritas Tiongkok, menjadi momentum bagi rakyat untuk lantang bersuara menentang Xi Jinping,” kata AB Solissa kepada wartawan, Kamis, (15/12/2022).
 
Demonstrasi besar-besaran di Tiongkok, lanjut AB Solissa, adalah puncak kemarahan rakyat terhadap pemerintah khususnya Partai Komunis Tiongkok, yang selama ini diyakini telah membatasi semua hak asasi manusia dan kebebasan di seluruh Tiongkok, termasuk di Xinjiang, dan Hong Kong.
 
“Banyak yang memandang gelombang unjuk rasa ini bukan hanya tentang krisis kesehatan masyarakat, namun krisis hak asasi manusia yang direnggut oleh Partai Komunis Tiongkok,” tutur AB Solissa.
 
Tiongkok, lanjut AB Solissa, sebenarnya telah berulang kali disarankan oleh berbagai kalangan internasional untuk mempertimbangkan kembali kebijakan vaksinasi dan fokus pada vaksinasi orang yang paling rentan.
 
Akan tetapi, cakupan vaksinasi yang rendah di antara orang tua dijadikan alasan utama Beijing melakukan lockdown hampir sebagian besar rakyat Tiongkok, dan di seluruh wilayah Tiongkok.
 
“Anehnya, Tiongkok tetap teguh pada strategi nol Covid-nya dan menolak untuk mengakses vaksin yang lebih ampuh dari negara-negara dunia, ini ada apa?" ujar AB Solissa.
 
Lockdown semakin ketat oleh otoritas Tiongkok,  setelah muncul varian virus yang lebih menular sebagai upaya pencegahan penyebaran penyakit tersebut.
 
“Ironisnya, Beijing hingga saat ini belum meminta bantuan kepada negara-negara dunia khusunya Amerika Serikat yang menjadi pemasok vaksin Covid terbesar di dunia,” ungkap AB Solissa.
 
Tindakan Xi Jinping juga dinilai dapat menghancurkan perekonomian Tiongkok, seperti prediksi Kepala eksekutif Dana Moneter Internasional, Kristalina Georgieva, yang menyatakan kekhawatirannya melihat ‘keras kepalanya’ Beijing.
 
Lockdown ketat di Tiongkok telah memperlambat pergerakan sosial dan ekonomi. IMF memperkirakan ekonomi Tiongkok tidak akan tumbuh lebih dari 2,3 persen pada 3,2-2022, tingkat di bawah rata-rata global.
 
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(DHI)




TERKAIT

BERITA LAINNYA

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan