Pasukan Bersenjata Irak mengatakan insiden terjadi dekat sebuah instalasi militer di kota Qayyarah, provinsi Nineveh.
Dilansir dari Press TV, belum ada pihak yang mengklaim bertanggung jawab atas serangan 17 roket tersebut.
AS menginvasi Irak pada 2003 dalam operasi berbasis perang melawan terorisme. Sejak sat itu, gelombang aksi kekerasan terus terjadi di negara tersebut di tengah sentimen anti-Amerika.
Operasi militer AS di Irak diperbarui pada 2014, dengan tujuan besar menghancurkan kelompok militan Islamic State (ISIS).
Qayyarah berhasil direbut kembali oleh Pemerintah Irak dari ISIS pada 2016. Perebutan terjadi saat pasukan Irak bergerak menuju Mosul, kota yang saat itu disebut-sebut sebagai markas besar kekuasaan ISIS.
Satu tahun setelahnya, Pemerintah Irak mengklaim telah berhasil membasmi ISIS.
Serangan roket di Qayyarah ini terjadi di tengah gelombanf protes yang telah melanda Irak sejak awal Oktober lalu.
Gelombang unjuk rasa di Irak dimulai dari ketidakpuasan warga terhadap kurangnya lapangan pekerjaan, layanan publik yang buruk dan maraknya korupsi di pemerintahan. Namun aksi protes ini berkembang menjadi penentangan penuh terhadap sistem perpolitikan di Irak.
Awal November, ratusan ribu demonstran anti-pemerintah berkumpul di Lapangan Tahrir di Baghdad. Aksi protes itu disebut-sebut sebagai yang terbesar sejak Oktober.
Sembari mengibarkan bendera nasional, banyak pengunjuk rasa mendesak agar Pemerintah Irak mengundurkan diri dan parlemennya dibubarkan.
Hal unik dalam unjuk rasa di Irak kali ini adalah, demonstran tidak hanya mengarahkan kemarahan mereka kepada elite politik, namun juga para tokoh agama.
"Tidak ada satu pun yang mewakili perasaan rakyat. Bukan Iran, bukan partai-partai politik, dan juga bukan para ulama. Kami ingin merebut kembali negara kami," tegas Ali Ghazi, seorang pengunjuk rasa di Baghdad.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News