Di antaranya seperti yang disampaikan Peneliti Senior Center for Indonesian Domestic and Foreign Policy Studies (Centris), AB Solissa. Ia menyampaikan beberapa negara mempertanyakan kualitas proyek BRI tersebut.
"The Wall Street Journal baru-baru ini melaporkan proyek BRI di Ekuador dan Zambia yang mengalami cacat konstruksi parah," kata Solissa dalam keterangannya kepada wartawan, Jumat 17 Februari 2023.
Ia menjelaskan proyek BRI merupakan kendaraan Tiongkok dalam memperluas pengaruhnya di kawasan negara berkembang di Asia hingga Amerika Selatan. Melalui proyek ini, Tiongkok melakukan investasi dan pembiayaan untuk berbagai sektor, dari infrastruktur hingga energi.
"Sejak diluncurkan, proyek ini sudah melibatkan setidaknya 147 negara," ungkapnya.
Oleh karena itu, Solissa mengingatkan semua negara terkait, khususnya Indonesia untuk lebih berhati-hati. Utamanya dalam hal kualitas proyek yang berasal dari BRI.
"Mutu dan kualitas produk atau barang-barang Tiongkok yang membanjiri pasar di hampir seluruh dunia, tidak sedikit yang cacat, bahkan sering kali tidak berfungsi serta tidak tahan lama," kata Solissa.
Menurut Solissa, seyogianya sejumlah negara tersebut memberlakukan kebijakan dan kontrol yang sangat ketat, sebelum menggunakan produk atau barang-barang Tiongkok, khususnya yang menyangkut atau berkaitan dengan hajat hidup rakyat banyak dan negara.
Solissa menyoroti proyek pembangkit listrik tenaga air Coca Codo Sinclair Dam di Ekuador. Berdasarkan laporan The Wall Street Journal baru-baru ini, lanjut dia, diketahui banyak retakan pada bangunan proyek senilai 2,7 miliar dolar Amerika tersebut.
"Tentunya menjadi fakta dan contoh buruknya mutu atau kualitas produk Tiongkok," ujarnya.
Imbas dari banyaknya retakan pada bangunan yang dibangun Tiongkok ini, lanjut Solissa, melumpuhkan nyaris semua proyek strategis yang bersumber dari utang Tiongkok di Ekuador. Namun Solissa memuji langkah Ekuador yang menghentikan sementara semua proyek strategis tersebut.
“Langkah Pemerintah Ekuador untuk shutdown seluruh aktivitas di bangunan buatan Beijing (pusat pemerintahan Tiongkok) sudah tepat demi menyelamatkan jiwa dan raga pekerja serta warga sekitar proyek pembangkit tenaga listrik,” ungkap Solissa.
Lebih lanjut, Solissa mengatakan, Tiongkok menawarkan utang berbunga rendah dan kemudahan dalam memperoleh dana untuk pembangunan infrastruktur. Solissa menegaskan utang tersebut bisa menjadi jebakan yang berat di kemudian hari.
"Deretan negara yang dinilai "terjebak" dalam utang Tiongkok di antaranya adalah Laos, Pakistan, Sri Lanka, serta puluhan negara kecil di Afrika," ujar Solissa.
Ia menambahkan periode 2006-2019, Tiongkok menanamkan investasi senilai 12,1 miliar dolar Amerika Serikat dalam pembangunan infrastruktur Sri Lanka. Termasuk di dalamnya adalah membangun Pelabuhan Hambantota yang dikritik lawan politik Mahinda Rajapaksa saat menjadi presiden karena dinilai berbau nepotisme.
Beban utang dan krisis ekonomi serta politik membuat Sri Lanka tak mampu membayar kewajibannya. Sri Lanka sudah dinyatakan default atau gagal bayar karena tak mampu membayar bunga utang senilai 73 juta Dolar Amerika Serikat pada Mei lalu. Sementara sejumlah negara lain seperti Sri Lanka, Laos dan Pakistan kini menjadi sorotan karena terancam default juga akibat utang.
“Ibarat candu, jebakan utang Tiongkok akan membuat negara yang menggunakannya ‘terjajah’. Lihat saja Srilanka,” pungkas Solissa.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News