Talha Rasheed dalam penembakan di masjid Selandia Baru 15 Maret lalu. (Foto: Al Jazeera).
Talha Rasheed dalam penembakan di masjid Selandia Baru 15 Maret lalu. (Foto: Al Jazeera).

Penembakan di Selandia Baru

Ketegaran Keluarga Korban Serangan Selandia Baru

Arpan Rahman • 21 Maret 2019 16:14
Christchurch: Naeem Rasheed dan putranya, Talha, termasuk di antara 50 orang yang tewas dalam serangan di masjid Al Noor dan Linwood, pekan lalu.
 
Sebuah pertanyaan membuat Ambreen Naeem tertegun. "Pada pukul 14:00, saudari saya menelepon dan bertanya di mana putra saya, Talha dan Naeem suami saya," kata Ambreen getun.
 
"Saya ingat berpikir, 'mengapa dia bertanya kepadaku?', Karena biasanya mereka akan salat pada hari Jumat," tambahnya, dengan galau menekan jari-jemarinya satu sama lain.

Tidak diketahui oleh Ambreen, Talha yang berusia 21 tahun, dan Naeem, 51, terjebak di tengah serangan mematikan di masjid Al Noor oleh seorang penyerang bersenjata senapan semi-otomatis dan senapan serbu lainnya.
 
Tidak ada yang berhasil selamat hidup-hidup. Mereka ada di antara 50 Muslim yang terbunuh pada Jumat di masjid Al Noor dan Linwood yang sekarang ditutup di kota Christchurch, Selandia Baru tenggara, ketika penyerang melepaskan tembakan dalam aksi yang disebut oleh Perdana Menteri Jacinda Ardern sebagai serangan "teroris".
 
Merantau dari Lahore ke Selandia Baru
 
Banyak dari mereka yang diyakini tewas dalam serangan itu telah beremigrasi ke Selandia Baru, meninggalkan sejumlah negara dari Fiji sampai Malaysia karena berbagai alasan.
 
Beberapa melarikan diri dari konflik, seperti pengungsi Suriah berusia 15 tahun Hamza Mustafa dan ayahnya, Khalid. Yang lainnya, seperti Naeem yang lahir di Pakistan, meninggalkan rumah di Lahore untuk mengejar mimpi.
 
Duduk di kamar tidur di lantai bawah di rumah kakak perempuannya Naeema di Christchurch, Ambreen mengingat perjalanan yang telah dilakukan suaminya yang meninggal satu dekade lampau.
 
"Dia adalah seorang bankir (di Pakistan) dan ingin beralih pekerjaan menjadi guru, jadi dia datang ke Selandia Baru untuk mengambil gelar PhD," katanya, didampingi oleh Abdullah, putranya yang berusia 19 tahun, dan Naeema.
 
"Dia mulai kuliah (PhD) tetapi tidak pernah selesai," tambahnya, menatap ke seberang ruangan pada anak bungsunya, Aayan yang berusia enam tahun, yang sibuk mencari perhatiannya.
 
"Sebaliknya, kami memiliki seorang putra," cetusnya, seperti dinukil dari laman Al Jazeera, Rabu 20 Maret 2019.
 
Tidak ada keraguan, katanya, di mana bayi itu akan dibesarkan. Keluarga itu menetap di Selandia Baru karena Naeem telah jatuh cinta "dengan keindahan alam langit biru yang berkilau dan padang rumput hijau yang mengalun.
 
Hidup ini sementara
 
Selama 10 tahun kemudian, Naeem dengan tekun membangun kehidupan barunya di negeri itu, menenun keluarganya menjadi kain Christchurch, sebuah kota rindang yang berpenduduk hampir 400.000 jiwa.
 
Dia bekerja keras, menyeimbangkan kehidupan sebagai guru bisnis dengan menjadi seorang kepala keluarga yang peduli dan berbakti dengan waktu buat mengajar anak-anaknya juga. "Dia akan membantu saya dalam segala hal, dan selalu mengutamakan saya dan yang lain," kata Abdullah, mahasiswa teknik.
 
"Ketika saya terbiasa terjebak dalam kalkulus beasiswa, ayah akan meluangkan waktu untuk menjelaskan kepada saya bagaimana memikirkannya, dia selalu sangat tertarik," tambahnya.
 
"Sangat menyenangkan berbicara dengannya, jika saya  punya kekhawatiran dia akan selalu membuatku merasa jauh lebih baik. Tapi hidup ini hanya sementara," gumamnya getir.
 
Talha, putra tertua, selalu siap memberi bimbingan. Abdullah, khususnya, ingat sore hari yang panjang dihabiskan bermain sepak bola bersama di taman sambil mendengarkan saudaranya menawarkan beberapa nasihat kehidupan yang berharga atau berjalan-jalan menuruni lereng bukit bersama-sama naik sepeda gunung yang mereka cintai.
 
"Adikku ada di sana untukku setiap detik dalam hidupku," kata Abdullah.
 
"Dia suka mengambil risiko dan saya selalu sangat takut, tetapi karena dia saya menyadari bahwa terkadang Anda harus mengambil risiko dalam hidup untuk mencapai sesuatu yang lebih," tambahnya.
 
"Bersepeda gunung adalah sesuatu yang tidak akan pernah saya coba, tetapi karena dia, saya menyukainya. Saya telah kecanduan begitu banyak hal lagi, dan mendapatkan jauh lebih banyak dari kehidupan," tuturnya.
 
Dipicu oleh kenangan akan memar dan lutut yang terkilir, Naeema mengatakan bahwa dia akan kehilangan foto-foto yang akan diambil Talha dari perjalanan bersepeda ke atas perbukitan yang mengelilingi dataran subur di Christchurch.
 
"Dia akan membawakanku gambar pemandangan yang berbeda, atau daun yang indah jika dia melihatnya," katanya murung.
 
Jiwa-jiwa yang indah
 
Pada musim gugur ini, itu tidak akan pernah ada lagi. Sebaliknya, sketsa kehidupan keluarga yang membeku serupa itu di banyak rumah terdekat, di mana Muslim terhitung tidak lebih dari beberapa ribu dalam populasi total kota.
 
Serangan Jumat, penembakan massal terburuk dalam sejarah modern Selandia Baru, telah merampas banyak keluarga dari orang-orang yang mereka cintai dan mengguncang negara Kepulauan Pasifik hingga ke intinya, memicu banjir kesedihan publik di seluruh negeri.
 
Dalam kerahasiaan di rumah Naeema, di mana para lelaki berbisik berkumpul dalam lingkaran dan minum teh di garasi yang sudah bersih, kesedihan yang tak terhapuskan dipenuhi oleh ketegaran.
 
"Suami dan putra saya benar-benar membuat saya bangga (karena) mereka mati menyelamatkan orang lain," kata Ambreen.
 
"Keduanya adalah jiwa yang indah," sambungnya. 
 
Naeema, 54, bersandar lebih dekat dengannya dan bergabung ikut bercerita.
 
"(Naeema) adalah orang yang ditewaskan si pembunuh dan sekarang dia akan menjadi pahlawan selamanya," katanya.
 
Berhadapan dengan hujan peluru pada Jumat sore, Naeem berupaya melawan pria bersenjata itu, rekaman yang ditangkap di kamera di kepala tersangka dan siaran langsung menunjukkannya secara daring.
 
Luka parah karena tindakan keberaniannya, ia dibawa ke rumah sakit, di sana ia kemudian meninggal.
 
Pujian dari PM Pakistan
 
Di antara mereka yang cepat memberi bela sungkawa atas tindakannya adalah Perdana Menteri Pakistan Imran Khan, yang memuji "keberanian" Naeem dan mengatakan ia akan diakui dengan "penghargaan nasional".
 
Langkah ini disambut hangat oleh Ambreen. "Penghargaan itu akan menjadi hal yang sangat bagus untuk ditunjukkan kepada anak-anak saya, terutama putra saya yang lebih muda, ia akan senang mengetahui ketika ia tumbuh besar bahwa ayahnya begitu pemberani," katanya.
 
Talha, kata keluarga itu, juga meninggal ketika berusaha melindungi orang lain.
 
"Ketika Talha tertembak, dia menjatuhkan diri pada bocah laki-laki lain dan membisikkan padanya agar tetap diam tak bergerak. Ketika pria bersenjata itu meninggalkan (masjid), bocah itu bangkit, hidup-hidup, dari bawah tubuhnya," kata Naeema.
 
"Dia adalah anak yang periang baik, teladan bagi generasi muda."
 
Negeri ini rumahnya
 
Sementara banyak perantau komunitas Muslim Pakistan di negeri lain di penjuru dunia mendukung pengembalian jasad mereka yang meninggal di luar negeri untuk dimakamkan, keluarga Naeem telah memutuskan untuk menghormati keinginannya dan mememayamkan jenazahnya untuk bermakam di Selandia Baru.
 
Putranya akan dikuburkan bersamanya, serta sejumlah orang lain. "Keduanya akan dimakamkan di kuburan massal," kata Ambreen, mengutip berbagai situs pemakaman terpisah yang digali bersama di Taman Makam Memorial Christchurch untuk para korban serangan Jumat.
 
"Naeem ingin dimakamkan di mana pun dia mati, jadi aku akan menuruti keinginan itu dan negeri ini adalah rumahnya," tambahnya.
 
Namun di sekitar rumah, ketiganya tahu ritme kehidupan keluarga iu tidak akan pernah sama lagi.
 
Satu hal yang Naeema akan perhatikan, katanya, adalah bagaimana akan ada lebih banyak kue yang tersisa di dalam wadah tanpa ada Talha untuk terus-menerus menyantapnya.
 
Sementara itu, Abdullah tahu bahwa ia telah berganti peran dari putra tengah kini menjadi lelaki paling senior dalam keluarga, membawa serta tekanan dan harapan baru.
 
"Saya akan menjaga semua orang, terutama ibuku dan adik laki-lakiku," katanya. "Saya akan memberi mereka dukungan dan memenuhi harapan ayahku."
 
Sedangkan untuk Ambreen, kehilangan anak laki-laki dan pasangannya yang tertua, perubahannya akan terlalu banyak untuk dihitung. Tetapi perbedaan seperti itu, pada kenyataannya, membantu mempertahankan hubungannya dengan keluarga yang telah dicerabut darinya.
 
"Saya tidak tahu kapan lagi masjid akan dibuka dan saya tidak biasa pergi untuk salat Jumat, tapi mungkin kali ini saya akan melakukannya," katanya, sambil berpikir.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(FJR)




TERKAIT

BERITA LAINNYA

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan