"Kalau ada deadline, semua jadi desperate. (RCEP) itu akan siap, jika memang siap," kata Marty kepada awak media usai diskusi bertajuk 'Indonesia in ASEAN: Is There More to Gain?' di Jakarta, Rabu 20 November 2019.
Menurut Marty, tenggat waktu tak sebaiknya diumbar. Hal tersebut penting agar upaya menegosiasikan kesepakatan RCEP menjadi optimal.
Tenggat waktu itu dinilai sebagai salah satu faktor yang membuat ASEAN seperti 'membiarkan' India untuk meninggalkan RCEP. Padahal, imbuh dia, India merupakan salah satu negara mitra ASEAN yang ikut bernegosiasi mengenai RCEP dari awal.
"Jadi awalnya, RCEP itu mengoreksi apa yang tidak ada di Asia-Pacific Economic Partnership (APEC), dan untuk menyambungkan autodots (titik-titik), istilahnya meng-ASEAN-kan mereka (negara mitra)," tuturnya.
"Kalau ada satu yang belum selesai, ya kita selesaikan. Jangan (memutuskan) 15 dulu, itu nanti," imbuh Marty, merujuk pada jumlah anggota.
Menurut Marty, jika sudah ditetapkan RCEP beranggotakan 15 negara, nanti India dapat bersikap semakin keras. Jika terjadi demikian, New Delhi akan merasa tidak menjadi bagian dari proses, dan enggan kembali ke RCEP.
Awalnya RCEP terdiri dari 16 negara anggota, yakni 10 negara ASEAN, dan enam negara mitra seperti India, Tiongkok, Jepang, Korea Selatan, Australia, dan Selandia Baru. Namun diduga karena masalah domestik, India meninggalkan kesepakatan RCEP ini.
Tak ingin tersandera sikap India, 15 negara peserta RCE menyepakati negosiasi berbasis teks (text-based negotiations) yang memuat pokok-pokok pengaturan serta hak dan kewajiban dalam RCEP.
Kesepakatan tersebut dicapai dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ke-3 RCEP di Thailand, awal November lalu, dan mencakup 20 bab perundingan, kecuali isu akses pasar dan kajian hukum (legal scrubbing). Dua isu tersebut masih harus diselesaikan seluruh negara terlibat sebelum target penandatanganan RCEP, yakni tahun 2020.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News