Sekitar 1.000 orang berdemo secara damai di area Harbourfront di Hong Kong, Minggu 22 Desemmber 2019. Mereka mengibarkan bendera dan poster terkait Uighur sebagai bentuk dukungan.
Aksi dukungan ini merupakan bagian dari gerakan pro-demokrasi yang telah berlangsung di Hong Kong selama hampir tujuh bulan.
"Kita tidak boleh melupakan mereka yang memiliki tujuan sama, yakni kebebasan dan demokrasi serta perjuangan menentang Partai Komunis Tiongkok," ujar seorang demonstran yang menggunakan pengeras suara, dikutip dari Deutsche Welle.
Polisi kemudian bergerak mendekati Harbourfront dan membubarkan aksi solidaritas tersebut dengan menggunakan semprotan merica. Demonstran membalas dengan lemparan botol kaca dan batu.
Sejumlah pakar Perserikatan Bangsa-Bangsa dan organisasi hak asasi manusia mengklaim telah mendokumentasikan bahwa Tiongkok menahan sedikitnya satu juta Uighur dan minoritas Muslim lainnya di Xinjiang.
Tiongkok menegaskan tempat penahanan tersebut pada kenyataannya adalah "pusat pelatihan vokasional" yang diperlukan untuk memerangi bibit terorisme di Xinjiang. Beijing membantah keras telah berlaku kasar terhadap Uighur.
Gelombang protes di Hong Kong dimulai dengan aksi protes menentang undang-undang ekstradisi, yang mengatur mengenai pengiriman tersangka kasus kriminal ke Tiongkok. Aksi unjuk rasa tetap berlanjut meski UU tersebut telah disingkirkan, dan gerakan protes meluas menjadi aksi memperjuangkan demokrasi dari pengaruh Tiongkok.
Banyak demonstran khawatir sistem pengawasan dan "kamp vokasional" yang diterapkan Tiongkok di Xinjiang juga diberlakukan di Hong Kong.
"Pemerintah Tiongkok sangat senang mengendalikan apapun. Mereka tidak bisa menerima opini berbeda," kata Katherine, seorang pedemo Hong Kong berusia 20-an tahun kepada AFP.
"Di Xinjiang, mereka (Tiongkok) melakukan apa yang mereka lakukan saat ini karena memang punya kuasa. Jika mereka mengambil alih Hong Kong, mereka akan melakukan hal yang sama kepada kami," lanjut dia.
Hong Kong diserahkan dari Inggris kepada Tiongkok pada 1997. Tiongkok kemudian memberlakukan skema "Satu Negara, Dua Sistem" yang memberikan sejumlah kebebasan kepada Hong Kong.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News