Kendati demikian, ketiga negara Islam ini memiliki pola yang sama dalam proses demokrasi. Ada semacam pola inum yang terjadi di tiga negara ini, yakni kontestasi.
"Kontestasi di sini adalah misalnya partai bisa datang dan pergi dan juga berganti-ganti. Kontestasinya tidak berubah," kata mantan Anggota Komisi I DPR RI, Muhammad Najib dalam paparannya di diskusi publik 'Demokratisasi di Dunia Islam: Perbandingan Indonesia, Turki dan Mesir' di Jakarta, Selasa 21 November 2017.
"Ketiga negara ini juga memilih jalan berbeda. Turki yang sekuler, Mesir yang syariah, Indonesia di tengah-tengah. Faktanya, Turki lebih syariah daripada Mesir," lanjut dia.
Sementara di Mesir, kontestasi militer lebih unggul. Najib mengatakan, usai fase Arab Spring dan Hosni Mubarak digantikan oleh Mohamed Morsi, Mesir hanya mengalami demokrasi tidak lebih dari dua tahun.
"Masa demokrasi di Mesir itu tidak lebih dari dua tahun, lalu kembali jadi militer lagi," ucap dia.
Menurut Najib, secara politik, Indonesia memiliki kemiripan dengan Turki di mana adanya persaingan antara nasionalis religius melawan sekuler yang bergabung dengan militer.
"Nyatanya yang menang adalah nasionalis regilius lewat pemilu. Lihat saja di Turki, contohnya pemilu 2002. Namun, ekonomi Turki lebih bagus daripada Indonesia yang lebih dulu meraih reformasi daripada Turki," papar dia.
Najib menyimpulkan bahwa dalam demokrasi, Indonesia menduduki peringkat satu jika dibandingkan dengan Turki dan Mesir. Sementara, di bidang ekonomi, Turki menduduki peringkat satu dibanding Indonesia dan Mesir. Sementara Mesir, tetap pada posisi terakhir di bidang demokrasi dan ekonomi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News