Inggris mengembalikan Hong Kong ke tangan Tiongkok pada 1 Juli 1997. Setelah penyerahan, Tiongkok menjanjikan otonomi luas dan kebebasan yudisial kepada Hong Kong, yang berlaku hingga setidaknya tahun 2047.
Baca: John Lee, Si 'Patriot' yang Jadi Pemimpin Baru Hong Kong
Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?
Sejumlah kritikus menilai otoritas Tiongkok telah menginjak-injak kebebasan di Hong Kong. Gelombang kritik semakin kencang usai Tiongkok menerapkan Undang-Undang Keamanan Nasional di Hong Kong pada 2020.
Kamis kemarin, Perdana Menteri Inggris Boris Johnson dan Menteri Luar Negeri Amerika Serikat (AS) Antony Blinken mengatakan bahwa Tiongkok telah gagal memenuhi komitmen di tahun 1997.
Tiongkok dan Hong Kong membantah tuduhan tersebut, dengan mengatakan bahwa UU keamanan Nasional diperlukan untuk "memulihkan ketertiban dari kekacauan" agar kota semi-otonom itu bisa terus berkembang.
Xi mengatakan "Satu Negara, Dua Sistem" merupakan formula yang sukses di bawah "yurisdiksi komprehensif" Tiongkok.
"Untuk sistem sebagus ini, tidak ada alasan untuk mengubahnya. Sistem ini harus dipertahankan untuk jangka panjang," tutur Xi, dikutip dari Asia One, Sabtu, 2 Juli 2022.
"Setelah merasakan angin dan hujan, semua orang merasa bahwa Hong Kong tidak boleh dibiarkan ricuh, tidak boleh terjadi kericuhan lagi," sambungnya, merujuk pada aksi protes masif yang pernah melanda Hong Kong.
"Pertumbuhan Hong Kong tidak boleh ditunda lagi, dan segala bentuk intervensi harus dilenyapkan," ungkap Xi.
Ia menambahkan bahwa Tiongkok akan selalu mendukung peran Hong Kong sebagi hub finansial dan perdagangan internasional.