Sichuan: Pengadilan Prefektur Aba di Sichuan, Tiongkok menjatuhkan hukuman mati kepada Tang Lu pada Kamis, 14 Oktober 2021. Pria ini diketahui membunuh saat sang mantan istri tengah melakukan siaran langsung di media sosial pada September 2020 lalu.
Dilansir dari Straits Times, Jumat, 15 Oktober 2021, seorang vlogger Tibet, Amuchu, 30, meninggal dunia setelah disiram dengan bensin dan dibakar oleh mantan suami di rumah ayah kandungnya.
Setelah dua minggu kemudian, Amuchu diketahui meninggal dunia di rumah sakit setempat akibat luka bakar parah. Pada Juni 2020, Amuchu menceraikan Tang, seorang pria yang telah melancarkan kekerasan fisik terhadap dirinya.
“Tang dijatuhi hukuman mati setelah melakukan pembunuhan yang disengaja. Kejahatannya sangat kejam dan dampak sosialnya sangat buruk,” kata Pengadilan Prefektur Aba.
Saat itu, kematian Amuchu memicu kecaman online atas masalah kekerasan dalam rumah tangga yang kurang dilaporkan di komunitas pedesaan. Keadaan ini terutama mempengaruhi etnis minoritas.
Amuchu disebut secara teratur mem-posting video kehidupan sehari-harinya saat mencari makan di pegunungan, memasak, dan menyinkronkan bibir dengan sejumlah lagu sambil mengenakan pakaian tradisional Tibet.
Etnis Tibet merupakan sebuah kelompok yang diperkirakan berjumlah sekitar 6,5 juta orang. Umumnya, beberapa kaum Tibet minoritas tinggal di luar Daerah Otonomi Tibet di Tiongkok, seperti India, Nepal, dan Bhutan.
Setelah kematian Amuchu, puluhan ribu pengikutnya berduka dan berkomentar di halaman Douyin-nya (Tiktok versi Tiongkok). Sementara itu, jutaan pengguna di platform mirip Twitter, Weibo menuntut keadilan dengan menggunakan tagar trending.
Pada 2016, Tiongkok mengkriminalisasi kekerasan dalam rumah tangga. Namun, masalah ini tetap menyebar dan kurang dilaporkan, terutama di komunitas pedesaan yang kurang berkembang.
Pada 2013, Federasi Wanita Seluruh Tiongkok mencatat, sekitar satu dari empat perempuan Tiongkok yang telah menikah pernah mengalami kekerasan dalam rumah tangga.
Seorang aktivis mengatakan, keluhan berulang para korban sering tidak ditanggapi serius oleh pihak kepolisian. Masalah ini sering dianggap sebagai masalah keluarga pribadi dalam budaya konservatif Tiongkok.
Ditambah, baru-baru ini, terdapat kekhawatiran terkait perubahan pada hukum perdata Tiongkok. Hukum tersebut memperkenalkan periode ‘pembekuan’ wajib selama 30 hari bagi pasangan yang ingin bercerai. Hal ini dinilai dapat mempersulit para korban untuk meninggalkan pernikahan yang telah melecehkan diri mereka. (Nadia Ayu Soraya)
Dilansir dari Straits Times, Jumat, 15 Oktober 2021, seorang vlogger Tibet, Amuchu, 30, meninggal dunia setelah disiram dengan bensin dan dibakar oleh mantan suami di rumah ayah kandungnya.
Setelah dua minggu kemudian, Amuchu diketahui meninggal dunia di rumah sakit setempat akibat luka bakar parah. Pada Juni 2020, Amuchu menceraikan Tang, seorang pria yang telah melancarkan kekerasan fisik terhadap dirinya.
“Tang dijatuhi hukuman mati setelah melakukan pembunuhan yang disengaja. Kejahatannya sangat kejam dan dampak sosialnya sangat buruk,” kata Pengadilan Prefektur Aba.
Saat itu, kematian Amuchu memicu kecaman online atas masalah kekerasan dalam rumah tangga yang kurang dilaporkan di komunitas pedesaan. Keadaan ini terutama mempengaruhi etnis minoritas.
Amuchu disebut secara teratur mem-posting video kehidupan sehari-harinya saat mencari makan di pegunungan, memasak, dan menyinkronkan bibir dengan sejumlah lagu sambil mengenakan pakaian tradisional Tibet.
Etnis Tibet merupakan sebuah kelompok yang diperkirakan berjumlah sekitar 6,5 juta orang. Umumnya, beberapa kaum Tibet minoritas tinggal di luar Daerah Otonomi Tibet di Tiongkok, seperti India, Nepal, dan Bhutan.
Setelah kematian Amuchu, puluhan ribu pengikutnya berduka dan berkomentar di halaman Douyin-nya (Tiktok versi Tiongkok). Sementara itu, jutaan pengguna di platform mirip Twitter, Weibo menuntut keadilan dengan menggunakan tagar trending.
Pada 2016, Tiongkok mengkriminalisasi kekerasan dalam rumah tangga. Namun, masalah ini tetap menyebar dan kurang dilaporkan, terutama di komunitas pedesaan yang kurang berkembang.
Pada 2013, Federasi Wanita Seluruh Tiongkok mencatat, sekitar satu dari empat perempuan Tiongkok yang telah menikah pernah mengalami kekerasan dalam rumah tangga.
Seorang aktivis mengatakan, keluhan berulang para korban sering tidak ditanggapi serius oleh pihak kepolisian. Masalah ini sering dianggap sebagai masalah keluarga pribadi dalam budaya konservatif Tiongkok.
Ditambah, baru-baru ini, terdapat kekhawatiran terkait perubahan pada hukum perdata Tiongkok. Hukum tersebut memperkenalkan periode ‘pembekuan’ wajib selama 30 hari bagi pasangan yang ingin bercerai. Hal ini dinilai dapat mempersulit para korban untuk meninggalkan pernikahan yang telah melecehkan diri mereka. (Nadia Ayu Soraya)
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News