Brenton Tarrant, pelaku penembakan di Masjid di Christchurch, Selandia Baru. Foto: AFP
Brenton Tarrant, pelaku penembakan di Masjid di Christchurch, Selandia Baru. Foto: AFP

Pelaku Serangan Masjid Selandia Baru Dengarkan Kesaksian Korban

Fajar Nugraha • 24 Agustus 2020 10:53
Christchurch: Warga Australia yang membunuh 51 warga Muslim di Selandia Baru pada 2019 lalu menghadapi sidang vonis. Selama di pengadilan, Brenton Tarrant tidak menunjukkan emosi di saat para korban selamat memberikan keterangan ketika penyerangan terjadi.
 
Baca: Pelaku Penembakan Masjid Selandia Baru Tak Akan Pernah Bebas.
 
Sidang vonis hukuman yang dibuka Senin 24 Agustus 2020 ini mendengarkan rincian mengerikan dari kekejaman yang dilakukan Tarrant. Menurut jaksa penuntut, serangan itu direncanakan dengan cermat untuk menimbulkan korban maksimum.

“Brenton Tarrant ingin menembak lebih banyak orang daripada yang telah dia lakukan,” sebut jaksa penuntut Selandia Baru, seperti dikutip AFP, Senin 24 Agustus 2020.
 
Sidang vonis ini dilakukan di tengah keamanan yang ketat dan di depan keluarga yang berduka dan korban yang terluka.
 
Pengadilan mendengar bagaimana Tarrant yang bersenjata berat menembaki pria, wanita dan anak-anak saat dia menyiarkan langsung serangan melalui media sosial. Pelaku mengabaikan permohonan bantuan, dan melindas satu korban saat dia pindah dari satu masjid ke masjid berikutnya.
 
“Ketika dia melihat seorang anak berusia tiga tahun menempel di kaki ayahnya, Tarrant menembaknya dengan dua tembakan tepat sasaran,” kata Jaksa Barnaby Hawes di pengadilan.
 
Tarrant mengaku bersalah atas 51 tuduhan pembunuhan, 40 percobaan pembunuhan, dan satu tuduhan terorisme atas serangan di dua masjid di Christchurch pada Maret 2019. Pengacara mengharapkan pria berusia 29 tahun itu menjadi orang pertama yang dipenjara seumur hidup tanpa pembebasan bersyarat di Selandia Baru.
 
Tarrant ditangkap saat dia mengemudi untuk menyerang masjid ketiga di Ashburton, sekitar satu jam di selatan Christchurch.
 
Mengenakan pakaian penjara abu-abu dan dikelilingi tiga petugas polisi di dermaga, pria Australia itu tetap diam, sesekali melihat ke sekeliling ruangan. Dia tak bergerak ketika Hawes menyampaikan ringkasan fakta yang mengerikan, dan anggota komunitas Muslim menceritakan dampaknya pada kehidupan mereka.
 

"Dia mengaku (kepada polisi) pergi ke kedua masjid dengan maksud untuk membunuh sebanyak mungkin orang," tutur Hawes.
 
"Dia menyatakan bahwa dia ingin menembak lebih banyak orang daripada yang dia lakukan dan sedang dalam perjalanan ke masjid lain di Ashburton untuk melakukan serangan lain ketika dia dihentikan," Hawes menambahkan.
 
Dalam wawancaranya, terdakwa menyebut serangannya sebagai 'serangan teror'. "Dia lebih lanjut menyatakan serangan itu dimotivasi oleh keyakinan ideologisnya dan dia bermaksud untuk menanamkan ketakutan pada mereka yang dia gambarkan sebagai 'penjajah' termasuk populasi Muslim atau lebih umumnya imigran non-Eropa,” sebut Jaksa Hawes.

Teroris yang dicuci otak


Abdiaziz Ali Jama, seorang pengungsi Somalia berusia 44 tahun, melihat saudara iparnya Muse Awale ditembak mati, dan mengatakan dia terus menderita trauma mental.
 
"Saya melihat langsung dan saya mendengar suara konstan tembakan senjata - di kepala saya," kata Jama, menggemakan kata-kata dari beberapa pembicara.
 
“Saya mengalami kilas balik, melihat mayat di sekitar saya. Darah di mana-mana," tambah putra Ashraf Ali ini.
 
Gamal Fouda, Imam Masjid Al Noor, mengatakan dia berdiri di mimbar "dan melihat kebencian di mata seorang teroris yang dicuci otak" sebelum mengatakan kepada Tarrant: "Kebencianmu tidak perlu."
 
Pengadilan diberitahu bahwa Tarrant tiba di Selandia Baru pada 2017 dan menetap di Dunedin sekitar 360 kilometer selatan Christchurch. Di tempat ini dia mengumpulkan koleksi senjata api bertenaga tinggi dan membeli lebih dari 7.000 butir amunisi.
 
Dia juga membeli baju besi balistik gaya militer dan rompi taktis. Dua bulan sebelum serangan itu, dia pergi ke Christchurch dan menerbangkan drone di atas masjid al Noor, merekam halaman dan bangunan. Termasuk juga pintu masuk dan keluar dan membuat catatan rinci tentang perjalanan antar masjid.
 
Pada Jumat, 15 Maret 2019 dia Dunedin dan pergi ke Christchurch dengan membawa senjata berkekuatan tinggi yang dia tulis referensi tentang pertempuran bersejarah, tokoh-tokoh Perang Salib, dan serangan teror serta simbol yang lebih baru.
 
“Dia memiliki amunisi yang dimuat sebelumnya ke dalam magazin, serta wadah bensin yang dimodifikasi untuk membakar masjid dan mengatakan dia berharap dia melakukannya,” ucap Hawes.
 
Mengenakan pakaian kamuflase gaya militer termasuk rompi taktis lengkap dengan saku depan berisi setidaknya tujuh magazin yang terisi penuh dan sarung yang memegang pisau gaya bayonet, dia memasang kamera di helmnya untuk merekam serangan.
 
Beberapa menit menjelang penyerbuan masjid al Noor, dia mengirim manifesto setebal 74 halaman radikal ke situs web ekstremis. Melalui manifesto, Tarrant memberi tahu keluarganya tentang apa yang akan dia lakukan dan mengirim email yang berisi ancaman untuk menyerang masjid ke berbagai agen media.
 
Tarrant mewakili dirinya sendiri di persidangan. Hakim Cameron Mander telah memberlakukan pembatasan pelaporan untuk mencegah dia menggunakan pengadilan sebagai platform untuk pandangan ekstremis. Mander diperkirakan akan menjatuhkan hukuman pada Kamis 27 Agustus 2020.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(FJR)




TERKAIT

BERITA LAINNYA

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan