Seorang pekerja bantuan dan sembilan anggota keluarganya tewas dalam serangan drone. Bahkan, tujuh di antara korban drone di Afghanistan itu dalah anak-anak.
Pentagon mengatakan, pihaknya akan membantu anggota keluarga korban drone di Afghanistan yang masih hidup pindah ke Amerika.
Tawaran kompensasi dibuat pada Kamis lalu dalam pertemuan antara Colin Kahl, wakil menteri pertahanan untuk kebijakan, dan Steven Kwon, pendiri dan presiden kelompok bantuan yang aktif di Afghanistan, Nutrition and Education International.
Kahl mencatat, Zamairi Ahmadi dan semua korban drone di Afghanistan kala itu tidak bersalah dan tak berafiliasi dengan kelompok Islamic State (ISIS).
Ia mengulangi komitmen Menteri Pertahanan Lloyd Austin kepada keluarga, termasuk pembayaran dana belasungkawa. Austin meminta maaf atas serangan tersebut, namun keponakan Ahmadi, Farshad Haidari mengatakan itu saja tidak cukup.
"Mereka harus datang ke sini dan meminta maaf kepada kami secara langsung," kata pemuda 22 tahun itu, dilansir dari BBC, Sabtu, 16 Oktober 2021.
Gempuran terjadi beberapa hari sebelum militer AS menarik diri dari Afghanistan. Saat itu, proses evakuasi yang terburu-buru masih dilakukan usai Taliban kembali berkuasa.
Serangan drone dilakukan setelah adanya ledakan bom di dekat bandara Kabul yang dilakukan ISIS cabang lokal, Islamic State Khorasan (ISIS-K). Intelijen AS melacak mobil pekerja bantuan selama delapan jam pada 29 Agustus dan meyakini orang di dalamnya terkait dengan militan ISIS-K.
Dari hasil penyelidikan, mobil pria itu terlihat di sebuah kompleks yang terkait dengan ISIS-K. Pada satu titik, sebuah drone mengintai barang yang diduga bahan peledak di dalam mobil. Setelah diselidiki, ternyata barang itu hanya wadah air.
Baca: ISIS-K Klaim Ledakan di Masjid Afghanistan yang Tewaskan 41 Orang
Jenderal Kenneth McKenzie dari Komando Pusat AS mengatakan, serangan itu merupakan kesalahan tragis. Ia menyebut Taliban tidak terlibat dalam serangan tersebut.
Salah satu dari mereka yang tewas, Ahmad Naser pernah menjadi penerjemah pasukan AS. Korban lainnya juga pernah bekerja untuk organisasi internasional dan memegang visa yang memungkinkan mereka masuk ke Negeri Paman Sam.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News