"Saya meminta Kemenlu menelusuri dengan seksama kebenaran dari informasi dugaan terkait human trafficking dan pelanggaran jam kerja terhadap ABK yang wafat ataupun ABK (anak buah kapal) lainnya asal Indonesia," ujar Ketua Komisi I DPR Meutya Hafid, melalui keterangan tertulis, Jakarta, Kamis, 7 Mei 2020.
Kabar ini bermula dari Media Korea Selatan (Korsel), MBC News melaporkan keberadaan anak buah kapal asal Indonesia yang mengalami perbudakan. Selain itu ada seorang ABK WNI yang meninggal di kapal nelayan milik Tiongkok dan jenazahnya dibuang ke laut.
Jam kerja dari ABK WNI ini juga tidak manusiawi. Mereka bekerja berdiri tanpa henti selama 30 jam dan hanya mendapatkan istirahat makan selama enam jam. Selama enam jam itu mereka manfaatkan untuk istirahat duduk.
Mendengar hal itu, Meutya turut prihatin. Sebagai pimpinan Komisi I DPR, Meutya menyampaikan belasungkawanya.
"Kami ikut belasungkawa mendalam atas wafatnya WNI kita dalam pekerjaannya di luar negeri sebagai ABK," ujar Meutya.
Dia menegaskan, perdagangan manusia telah ditetapkan PBB sebagai kejahatan serius dan merupakan bentuk pelanggaran dari hak asasi manusia (HAM). Oleh sebab itu, segala upaya pencegahannya perlu dilakukan.
Beberapa hari yang lalu, kapal ikan berbendera RRT Long Xin 605 dan Tian Yu 8 berlabuh di Busan, Korsel. Kedua kapal tersebut membawa 46 awak kapal WNI dan 15 diantaranya berasal dari Kapal Long Xin 629.
Dugaan perbudakan yang dialami oleh ABK WNI di kapal nelayan Tiongkok, diselidiki oleh Penjaga Pantai Korsel. Kasus ini terkuak setelah nelayan WNI memberikan kisahnya ke media Korsel, MBC.
MBC sebelumnya melaporkan masalah ini karena para pelaut meminta bantuan pemerintah dan MBC Korea. Setelah adanya video di atas kapal Tiongkok itu, jelas terlihat pelanggaran hak asasi manusia yang sangat berat.
Para WNI tersebut mengakui mereka didiskriminasi. Misalnya, mereka diminta minum dengan air laut yang disuling. Padahal, para ABK Tiongkok minum air botolan dari darat.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News