Undang-undang yang mengatur pelarangan tersebut resmi disahkan pada 1 Februari 2023, mengkriminalisasi pengonsumian dan kepemilikan cannabidiol atau CBD, bahan non-psikoaktif dalam tanaman ganja. Setiap orang yang terbukti mengimpor, mengekspor, atau memproduksinya akan dijerat hukuman penjara seumur hidup dan denda 5 juta dolar Hong Kong atau sekitar Rp9,7 miliar.
Sebelumnya, pemerintah telah membatasi larangan ganja dan THC turunan psikoaktifnya, mecegah potensi industri CBD tumbuh.
Pihak berwenang Hong Kong melakukan penangkapan CBD pertama pada bulan lalu. CBD tersebut berasal dari Denmark dan diberi label sebagai olive oil.
Pemerintah Hong Kong berada dalam siaga tinggi untuk memeriksa barang-barang dari luar negeri.
Sementara itu, Kementerian Luar Negeri Thailand mengeluarkan peringatan agar tidak membawa barang-barang CBD ke Hong Kong. Kementerian Luar Negeri AS juga mendesak warganya untuk meninjau barang bawaan mereka untuk memastikan barang-barang - "termasuk minyak, lotion, suplemen, dan kosmetik" - tidak mengandung bahan tersebut.
Video animasi di pesawat memperingatkan pengunjung tentang konsekuensi membawa produk CBD.
Larangan tersebut dibuat ketika CBD populer di seluruh dunia karena sifatnya yang menenangkan dan analgesik. Bahkan beberapa negara di Asia, kawasan yang dikenal dengan sikap tanpa toleransi terhadap narkoba, mengubah sikap mereka.
Korea Selatan (Korsel) melegalkan ganja medis pada 2018, tetapi dalam kondisi yang ketat. Sementara Jepang mengincar rencana serupa untuk pasien dengan kondisi yang tidak dapat disembuhkan.
Perubahan terbesar terjadi di Thailand, yang pada 2022 menjadi negara Asia pertama yang mendekriminalisasi ganja. Meskipun ketidakpastian politik dan hukum masih mengaburkan masa depan industri di sana, bisnis ganja telah bermunculan di seluruh negeri.
Orang asing berbondong-bondong ke Thailand untuk mengunjungi apotik dan membeli produk seperti makanan dan minyak pijat.
Hong Kong bukan satu-satunya negara yang melarang CBD. Perdagangan narkoba di negara-negara seperti Singapura dan Malaysia bahkan dapat dihukum mati.
Ada beberapa bukti dari AS bahwa melegalkan CBD bisa menjadi langkah berbahaya. Ketersediaan yang mudah dan undang-undang yang melegalkan THC telah menyebabkan ledakan produk tiruan yang terbuat dari rami dan CBD dengan konsekuensi kesehatan yang tidak diketahui.
Namun, sebelum larangan tersebut dikeluarkan, Hong Kong tampaknya terbuka untuk peluang industri CBD. Pada 2018, sebuah ruang serba guna di W Hotel di West Kowloon dipenuhi dengan kegembiraan saat konferensi investasi ganja pertama di Hong Kong dimulai.
"Ini adalah pusat moneter jadi kami pikir akan ada daftar di bursa saham Hong Kong untuk perusahaan ganja,” ujar Kaye, salah satu penyelenggara acara tersebut, dilansir dari The Strait Times, Jumat, 3 Maret 2023.
Sejumlah bisnis yang menjual produk dari bahan CBD bermunculan, mulai dari minyak hingga bir. Tom Lorimer, salah satu pendiri bisnis CBD yang berbasis di London, OTO mengatakan, perusahaannya mampu menghasilkan Rp9,7 miliar pada 2022.
Namun, pihak berwenang menginjak rem pada ledakan bisnis CBD pada 2022. Penduduk diberi waktu tiga bulan untuk membuang barang-barang yang mengandung CBD.
"Terlepas dari meningkatnya kebutuhan akan adaptogen nabati fungsional di seluruh masyarakat, Hong Kong, mengikuti langkah Tiongkok tahun lalu, sayangnya telah melawan tren global menuju penerimaan yang lebih besar terhadap produk turunan rami,” pungkas Lorimer. (Vania Augustine Dilia)
Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow akun Google News Medcom.id
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News