Pasalnya, di tengah pandemi ini, dua kekuatan besar dunia, Amerika Serikat dan Tiongkok masih kerap 'berperang'. Padahal, seharusnya kolaborasi mereka bisa mempercepat perkembangan penanganan covid-19.
"Beberapa tren terjadi saat covid-19 sebenarnya akselerasi dari tren yang terjadi sebelumnya, antara lain perang dagang antara Tiongkok dan Amerika Serikat," tutur Mahendra dalam kuliah umum virtual, Rabu 17 Juni 2020.
Mahendra menuturkan pandemi ini malah digunakan kedua negara besar itu untuk saling menjatuhkan satu sama lain. Namun, posisi Indonesia di tengah pandemi tidak berpihak ke satu kubu tertentu.
"Kita pada masa lalu bukan bagian dari Uni Soviet atau Amerika Serikat, sekarang kita tidak punya kepentingan menjadi bagian dari AS atau Tiongkok, karena kita punya prinsip sebagai negara yang merdeka dan berdaulat. Dalam hal ini, kepentingan kita memelihara perdamaian dunia, khususnya di kawasan," tegas dia.
Menurut Mahendra, perdamaian dan stabilitas global penting untuk dunia di tengah pandemi ini. Terutama, kata Mahendra, perdamaian dan stabilitas di Asia Tenggara, khususnya di Laut China Selatan yang selalu menjadi prioritas politik luar negeri Pemerintah Indonesia.
Dalam kesempatan sama, ia menyebut pandemi ini malah justru menguatkan gerakan anti-globalisasi yang kini tumbuh di negara maju, termasuk Amerika Serikat. Menurutnya, sikap anti-globalisasi di Negeri Paman Sam mungkin didorong faktor ketimpangan tinggi.
"Sedikit banyak, politik mempengaruhi hal ini, sehingga menyalahkan globalisasi. SIkap anti-globalisasi ini menyebabkan beberapa negara cenderung melakukan sikap unilateral," pungkasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News