Indonesia, disebut-sebut sebagai salah satu negara penyumbang gas rumah kaca terbesar, telah melakukan sejumlah langkah dalam mengatasi isu perubahan iklim.
"Komitmen politik Indonesia mengenai iklim sudah meningkat," kata pendiri Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI), Dino Patti Djalal, dalam diskusi publik Indonesian Climate Policy Outlook di Jakarta, Kamis, 23 Februari 2023.
Namun di waktu bersamaan, Dino juga mengatakan bahwa kebijakan Pemerintah Indonesia hingga saat ini masih sangat kurang dan bahkan masih overshoot dari batas pemanasan global 1.5 derajat Celcius
"Terutama apabila dibandingkan dengan negara-negara lain yang telah melibatkan climate goals dalam peraturan-peraturan hukum di negara-negaranya," ucap Dino.
"Untuk dapat menjaga kenaikan suhu global di 1.5 derajat Celcius, target net-zero emissions (nol emisi bersih) Indonesia harus dicapai di tahun 2050, bukan 2060 yang merupakan target nasional sekarang," sambungnya.
Mercy Chriesty Barends, Anggota Komisi VII dan Ketua Kaukus Ekonomi Hijau DPR RI, menyampaikan bahwa saat ini Pemerintah Indonesia terutama pihak DPR RI bergerak aktif dalam membantu Indonesia untuk segera mencapai climate goals.
Beberapa hal yang sedang menjadi pembahasan utama oleh DPR di antaranya adalah RUU Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBET) yang dibahas oleh Komisi VII yang berkaitan dengan Energi, Riset dan Inovasi, dan Industri.
"Dalam agenda transisi energi, sebuah lompatan yang baik sekali bahwa kemarin Pak Menteri ESDM telah menyepakati untuk melakukan perdagangan karbon di sub sektor pembangkit tenaga listrik, dan telah memverifikasi 42 perusahaan PLTU batu bara dengan kapasitas 100 MW," ucap Mercy.
Diskusi publik FPCI ini bertujuan menggali lebih dalam tren komitmen Indonesia untuk dapat mencapai target net-zero emissions yang lebih cepat, yaitu di tahun 2050, sesuai dengan Perjanjian Paris (Paris Agreement).
Pada 2016, Indonesia di bawah Presiden Joko Widodo telah meratifikasi Perjanjian Paris terkait perubahan iklim, berkomitmen untuk mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 29 persen pada tahun 2030.
Di tahun yang sama, Jokowi meluncurkan program untuk merestorasi 2 juta hektare lahan gambut yang terdegradasi, yang membantu mengurangi emisi gas rumah kaca dan mencegah kebakaran.
"Merupakan PR besar bagi kita ketika kita melakukan green development, namun di lain sisi masih ada masalah subsidi sumber energi fosil tetap dilakukan, jadinya useless dan tidak ada artinya," tutur Mercy.
"Harusnya berjalan dengan parallel (green development dan berhenti mensubsidi fossil fuels). Subsidi energi ke depannya akan diturunkan dan kita sudah melakukan pemangkasan agar masuk lebih ke cleaner energy, meskipun tidak 100 persen clean," sambungnya.
Baca juga: Menteri LHK Tegaskan Keseriusan Indonesia Tangani Perubahan Iklim
Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow akun Google News Medcom.id
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id