Diskusi 'Ukraine on Fire: One Year of Resistence' oleh FPCI. Foto: Medcom.id/Marcheilla Ariesta
Diskusi 'Ukraine on Fire: One Year of Resistence' oleh FPCI. Foto: Medcom.id/Marcheilla Ariesta

1 Tahun Perang Rusia-Ukraina

Indonesia Ditantang Lebih Aktif Bantu Perdamaian Rusia-Ukraina, Mau Enggak?

Marcheilla Ariesta • 24 Februari 2023 22:34
Jakarta: Indonesia menjadi salah satu dari 141 negara yang setuju pada resolusi PBB, yang meminta Rusia mundur dari Ukraina. Namun, banyak yang menginginkan Indonesia berbuat lebih banyak terkait situasi di Rusia dan Ukraina.
 
Dari kacamata pengamat internasional Universitas Airlangga, Radityo Dharmaputra, Indonesia dapat mengirimkan delegasi bersama ke Rusia untuk menjadi negosiator. Pasalnya, setelah kehadiran Presiden Joko Widodo ke Ukraina dan Rusia tahun lalu, tak ada peran lanjutan Indonesia dalam perdamaian kedua negara.
 
"Kita bisa kirimkan delegasi bersama atau special envoy mungkin. Karena selama ini, Indonesia tidak bergerak apa-apa," kata Radit dalam diskusi 'Ukraine on Fire: One Year of Resistence' yang digelar Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI) di Jakarta, Jumat, 24 Februari 2023.

Dalam kesempatan yang sama, mantan Duta Besar RI untuk Ukraina Yuddy Chrisnandi menyarankan agar Indonesia mengajak negara lain, dan bahkan ASEAN dalam hal ini. Menurutnya, sebagai ketua ASEAN, Indonesia dapat menggerakkan organisasi kawasan itu.
 
"Selama ini kan ASEAN belum punya posisi tetap terhadap situasi ini. Dan Indonesia seperti bingung menyikapi masalah perdamaian yang muncul ini," kata dia.
 
Yuddy mengatakan, Indonesia tidak perlu ngoyo menjadi mediator atau peace broker. Menurutnya, yang diperlukan Ukraina adalah solidaritas, berupa dukungan diplomasi, kemanusiaan, ekonomi, energi, dan lain sebagainya.
 
Indonesia, kata dia, memiliki portofolio yang bagus dalam diplomasi. Ia juga mengakui, RI memiliki kemampuan lobi yang sangat baik, sehingga lobi tingkat tinggi dengan Rusia bisa saja dilakukan, tanpa perlu persetujuan dari Ukraina.
 
Menanggapi hal ini, Radityo menuturkan, Indonesia memiliki banyak pilihan cara untuk menjalankan misi damai ke Ukraina dan Rusia. "Pertanyaannya sekarang, pemerintah Indonesia mau enggak?" tanyanya.

Tiongkok jangan dihakimi

Sementara itu di sisi lain, mantan Wakil Menteri Luar Negeri RI yang juga adalah Founder FPCI Dino Patti Djalal, menyarankan agar dunia tidak terlalu 'menghakimi' Tiongkok. Bagaimanapun, kata Dino, Tiongkok yang saat ini 'didengar' oleh Rusia.
 
"Terlebih hingga kini posisi Tiongkok netral. Bisa dilihat di voting Majelis Umum PBB tadi, mereka abstain. Setidaknya mereka di tengah-tengah," kata Dino.
 
"Tiongkok juga baru mengeluarkan point plan berjumlah 12 point yang menarik isinya, dan ada yang sejalan dengan 10 point peace plan (Presiden Ukraina Volodymyr) Zelensky," sambung dia.
 
Dino minta agar negara-negara Barat memberikan kesempatan pada Tiongkok. Pasalnya, sekarang Beijing memiliki pengaruh kuat juga, tanpa bisa dipungkiri.
 
Terkait hal tersebut, Yuddy menyarankan lagi agar Indonesia bekerja sama dengan Tiongkok, dan juga Turki. Hal ini dikarenakan Tiongkok salah satu negara netral yang paling memungkinkan didengar Rusia dan Putin, sedangkan Turki adalah negara NATO.
 
Tahun lalu, tepatnya akhir Juni 2022, Presiden Jokowi mengunjungi Rusia dan Ukraina dengan membawa misi perdamaian. Presiden Jokowi membawa bantuan kemanusiaan sekaligus menawarkan diri untuk menjadi mediator perdamaian.
 
Tak lama setelah kunjungan Jokowi, Rusia dan Ukraina sepakat terkait ekspor biji-bijian dan gandum untuk dibuka kembali. Kesepakatan ini ditandatangani di Turki dan disaksikan oleh PBB.
 

 
Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow akun Google News Medcom.id
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News

Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id
(FJR)




TERKAIT

BERITA LAINNYA

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan