Aung San Suu Kyi. Foto: AFP.
Aung San Suu Kyi. Foto: AFP.

Dikudeta Militer, Suu Kyi Bukan Lagi Prioritas Negara Barat

Marcheilla Ariesta • 02 Februari 2021 17:56
Yangon: Jatuhnya Aung San Suu Kyi sebagai ikon hak asasi telah mengurangi antusiasme Barat terhadapnya sebagai pemimpin Myanmar. Namun, para pemerintah Barat masih tetap terus mendesak pembebasannya untuk kembali ke pemerintahan yang demokratis.
 
Kepopuleran Suu Kyi sebagai aktivis pro-demokrasi semakin berkibar kala ia memenangkan Hadiah Nobel Perdamaian saat menjalani tahanan rumah pada 1991. Ia kemudian dijamu di Gedung Putih dan menjadi subyek film pada 2011.
 
Suu Kyi kemudian terpilih sebagai pemimpin Myanmar sejak 2015. Namun, ia menghadapi kecaman internasional atas pembelaannya terkait tuduhan genosida pada etnis Rohingya di Myanmar.

Meski demikian, para pemimpin negara Barat mengutuk perebutan kekuasaan pada Senin, 1 Februari kemarin oleh militer. Mereka menyerukan pembebasan mereka yang ditahan.
 
Meski demikian, banyak pemerintah Eropa memilih tidak menyebutkan nama Suu Kyi dalam pernyataan mereka.
 
Menteri Luar Negeri Belanda, Stef Blok di Twitter menuntut "pembebasan segera semua politisi dan perwakilan masyarakat sipil yang terpilih secara demokratis".
 
Dilansir dari Channel News Asia, Selasa, 2 Februari 2021, kemenangan telak partai Suu Kyi, Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) dalam pemilihan 8 November tahun lalu, dipandang sebagai referendum terhadap pemerintahan demokratis Suu Kyi yang masih muda.
 
"Ini berarti dia sangat penting untuk kembali ke demokrasi," kata Wakil Presiden Parlemen Eropa sekaligus mantan Menteri Pemerintah Finlandia, Heidi Hautala.
 
Baca juga: Pengungsi Rohingya Bahagia Melihat Aung San Suu Kyi Ditahan
 
"Tapi kami tidak akan melupakan apa yang ia (Suu Kyi) katakan mengenai orang Rohingya di Pengadilan Internasional. Dia telah merusak reputasinya sebagai pembela hak asasi manusia dengan dukungannya yang sangat terbuka kepada militer dalam masalah genosida," imbuh Hautala.
 
Pada Desember 2019, Suu Kyi memimpin tim pembela hukum ke Pengadilan Internasional di Den Haag, di mana Myanmar menghadapi tuduhan genosida terhadap populasi Muslim Rohingya. Komite Nobel menghadapi seruan agar mencabut hadiahnya.
 
Meskipun Suu Kyi tidak secara pribadi menghadapi dakwaan, tapi ia mendukung militer dan membantah adanya genosida. Padahal, sebuah laporan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada Agustus 2018 mengatakan militer Myanmar telah melakukan pembunuhan dan pemerkosaan massal dengan niat genosida dalam operasi pada 2017.
 
Lebih dari 730 ribu orang etnis Rohingya melarikan diri dari Myanmar ke Bangladesh selama kekerasan itu terjadi. Penyelidik PBB mengatakan 10 ribu orang kemungkinan tewas dalam insiden itu.
 
Namun, Suu Kyi membela kekerasan di negara bagian Rakhine barat dan menyebutnya sebagai operasi kontra-terorisme. Ia bahkan meminta pengadilan untuk menghapus kasus itu dari daftar.
 
Seorang pensiunan diplomat Belanda di Asia Tenggara, Laetitia van den Assum, yang sering bertemu Suu Kyi selama 15 tahun antara 1989 hingga 2010 ketika Suu Kyi berada dalam tahanan rumah, mengatakan status perempuan itu sebagai ikon demokrasi hampir ternoda.
 
"Tapi tak ada yang menginginkan rezim militer di Myanmar," katanya.
 
Seorang diplomat senior Uni Eropa yang berbasis di Jakarta mengatakan bahwa citranya mungkin mendapat keuntungan dari kudeta. "Ia bisa memulihkan posisinya sebagai martir," seru diplomat tersebut.
 
Namun, sambung diplomat itu, Barat sekarang menyadari bahwa meskipun popularitasnya di dalam negeri meningkat, dia tidak memiliki pengaruh atas militer.
 
Suu Kyi ditahan oleh militer dalam kudeta pada Senin kemarin. Tak hanya Suu Kyi, para pejabat pemerintahan sipil lainnya juga ditahan dan keberadaannya masih belum diketahui.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(FJR)




TERKAIT

BERITA LAINNYA

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan