Pulau Messah, terletak di satu kawasan dengan lokasi penyelenggaraan KTT ke-42 ASEAN, menjadi showcase pemanfaatan Energi Baru Terbarukan (EBT) dalam melistriki area terpencil dan mampu mengurangi emisi sebesar 485 ton karbondioksida (CO2) per tahun.
Direktur Utama PT PLN Darmawan Prasodjo menjelaskan, sebelumnya pulau terluar ini hanya bergantung pada genset swadaya masyarakat yang baru beroperasi pukul 18.00 WITA hingga 06.00 WITA. Saat itu, masyarakat secara kolektif membeli solar sebagai bahan bakar operasional dengan biaya Rp10 ribu per malam.
Namun sekarang, dengan hadirnya PLTS Pulau Messah, masyarakat bisa mendapatkan akses listrik yang tidak hanya andal, namun juga bersih.
Di lokasi lain di Tanah Air, tepatnya di Sidrap, Sulawesi Selatan, berdiri sebuah Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PTLB) yang telah diresmikan Presiden Joko Widodo pada Juli 2018.
Sulawesi Selatan menjadi provinsi pertama di Tanah Air yang memanfaatkan angin untuk menghasilkan listrik. Ada 30 turbin angin yang mampu menghasilkan listrik 75 Mega Watt (MW).
Menteri Pertanian yang pernah menjadi Gubernur Sulawesi Selatan Syahrul Yasin Limpo mengatakan, pembangunan PLTB Sidrap selaras dengan potensi alam di sana. Sebab, kecepatan angin di Sidrap bisa mencapai 7 meter per detik. Dengan kapasitas tersebut, angin mampu menggerakkan baling-baling berdiametet 57 meter yang terpasang di setiap turbin.
PLTS Pulau Messah dan PLTB Sidrap menjadi bukti bahwa Indonesia sebenarnya bisa menghasilkan cukup energi dengan memanfaatkan EBT, dalam hal ini tenaga surya dan tiupan angin.
Sumber energi yang melimpah
Menurut Kepala Ekonom lembaga think-tank asal Denmark CONCITO, Thorsten Hasforth, tenaga surya dan angin merupakan dua sumber energi yang begitu melimpah di Indonesia. Berada di zona tropis, Indonesia diberkahi sinar matahari dan tiupan angin yang cukup konstan pada setiap waktunya."Energi matahari dan angin di Indonesia ibarat buah yang siap dipetik," kata Hasforth, dalam workshop Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI) bersama Kedutaan Besar Denmark dalam program Indonesian Climate Journalist Network (ICJN) di Jakarta, April lalu.
Namun saat ini, Indonesia masih menggantungkan sektor energi pada batu bara. Hasforth menilai menggunakan batu bara sebagai sumber energi cenderung tidak efisien, terlebih dengan adanya kenaikan harga di pasar global belakangan ini. Ia mengatakan sinar matahari dan angin bisa menghasilkan suatu sistem pembangkit energi yang stabil, dan Denmark sudah membuktikan hal tersebut.
Kendati begitu, Hasforth menekankan bahwa skema transisi energi menuju EBT bukan berarti meninggalkan energi fosil sepenuhnya. Menurutnya, transisi energi dapat diartikan bahwa energi fosil menjadi semacam sumber sekunder, bukan yang utama.
Hasforth mengakui bahwa tentu saja Denmark dan Indonesia tidak bisa dibandingkan secara 'apple to apple' karena memiliki kompleksitas berbeda, termasuk dari luas wilayah dan jumlah penduduk. Kendati begitu, ia meyakini bahwa Indonesia bisa menjalankan transisi energi, dengan perlahan-lahan mengurangi penggunaan energi fosil dan lebih memprioritaskan EBT.
"Memang tidak ada sistem yang sempurna, namun pemakaian lebih banyak energi angin dan sinar matahari merupakan sesuatu yang mudah dilakukan," tutur Hasforth.
Jumlah PLTS dan PLTB di Indonesia memang masih relatif minim, namun Hasforth mengatakan bahwa Denmark pun hanya memiliki sedikit pembangkit semacam itu di masa lalu. Ia mengatakan bahwa di era 1980-an, pembangkit listrik energi baru di Denmark baru berjumlah 15. Namun saat ini, hingga di tahun 2023, jumlahnya sudah mencapai lebih dari 150 ribu.
Bertambahnya jumlah pembangkit listrik tenaga baru tersebut menunjukkan bahwa transisi energi memang bisa dilakukan, dan Hasforth yakin Indonesia juga mampu melakukannya.
Thorsten Hasforth dari CONCITO bergabung secara virtual. (FPCI)
Batu bara masih mendominasi
Sementara itu Country Director Greenpeace Indonesia, Leonard Simanjuntak, mengatakan bahwa perjalanan transisi energi di Indonesia masih cukup panjang. Ia mengatakan bahwa batu bara diperkirakan masih akan mendominasi sumber pembangkit listrik di Indonesia hingga 2030.Di kalangan negara G20, Indonesia masih berada di urutan pertama dengan kenaikan jumlah Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) terbesar.
Padahal menurut Leonard, dalam perjanjian antara Indonesia dan mitra internasional perihal Just Energy Transition Partnership (JETP), disebutkan upaya mempercepat pengurangan jumlah PLTU.
Sekretariat JETP ini telah dibentuk pada Februari 2023, dan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Arifin Tasrif mengatakan bahwa JETP akan menjadi pusat informasi, perencanaan dan koordinasi, serta pemantauan dan evaluasi pelaksanaan proyek JETP seperti yang diinstruksikan Tim Gugus Tugas.
Country Director Greenpeace Indonesia Leonard Simanjuntak. (FPCI)
Selain soal pengurangan PLTU, pernyataan bersama dalam JETP juga mendorong percepatan penyebaran EBT. JETP memproyeksikan bahwa persentasi EBT dari semua pembangkit listrik di Indonesia mencapai 34 persen di tahun 2030.
Leonard mewanti-wanti bahwa pendanaan dalam JETP ini harus diawasi secara seksama agar skema transisi energi bisa berlangsung adil dan berkelanjutan. "Dana JETP ini perlu dilihat secara kritis karena masih banyak 'loophole,'" tutur Leonard.
Akhir kata, transisi energi bukan semata soal peralihan dari bahan bakar fosil ke EBT. Ada dimensi yang lebih kompleks dari itu, mulai dari alih teknologi hingga ke perubahan pola pikir seputar penggunaan energi secara keseluruhan.
Transisi energi bukan tugas segelintir orang saja, namun juga seluruh elemen masyarakat Indonesia.
Baca juga: Menakar Kebijakan Transisi Energi Pemerintah
Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow akun Google News Medcom.id
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News