Ilustrasi kereta cepat. Foto: KCIC
Ilustrasi kereta cepat. Foto: KCIC

Pengamat Ungkap Indonesia Dibayang-bayangi "Jebakan" Utang Tiongkok hingga Abad ke- 22

M Rodhi Aulia • 12 Mei 2023 16:22
Jakarta: Pemerintah Indonesia melalui Dirjen Perkeretaapian Kementerian Perhubungan Risal Wasal memberi sinyal kemungkinan perpanjangan konsesi proyek Kereta Cepat Indonesia-Tiongkok selama 80 tahun. Semula konsesi kereta cepat yang disepakati hanya 50 tahun. 
 
"Kita sepakat memang akan mengizinkan 80 tahun masa konsesi tersebut," ujarnya ditemui di Gedung Kemenhub, Jakarta, dikutip pada Rabu, 12 April 2023 lalu.
 
Risal Wasal menilai masa 80 tahun atau selesai pada awal 2100 atau abad ke-22 itu, menjadi waktu yang pas agar Indonesia sebagai operator mendapatkan keuntungan. Namun konsesi dan perhitungan ini belum diamini Menteri Perhubungan.

Merespons hal ini, Dewan Pimpinan Pusat Pelajar Islam Indonesia (DPP PII) yang memiliki perhatian terhadap dunia global dan pengaruhnya terhadap Indonesia, mengingatkan agar Pemerintah Indonesia sangat berhati-hati dalam membuat keputusan agar tidak masuk dalam "jebakan" utang.
 
Pasalnya proyek kereta cepat yang nilainya membengkak hingga 1,2 miliar dolar Amerika Serikat, menggunakan pinjaman atau utang dari Tiongkok. Ironisnya, bunga yang dipatok Tiongkok sebesar 3,4 persen jauh lebih tinggi ketimbang harapan Indonesia sebesar 2 persen.
 
Wakil Bendahara Umum DPP PII, Furqan Raka menyebut nasib Indonesia bisa serupa dengan sejumlah negara di Afrika dan Sri Lanka. 
 
Beijing diketahui memberikan utang sebesar 4,5 miliar dolar AS untuk membiayai sejumlah proyek pembangunan infrastruktur di negara-negara tersebut.
 
Furqan menyebut Uganda sebagai salah satu contoh. Dikutip dari Economic Times, lanjut Furqan, Pemerintah Uganda telah mendapatkan pinjaman dari Bank Exim Tiongkok sebanyak 207 juta dolar AS untuk memperluas Bandara Internasional Entebbe.
 
Namun Uganda mengalami gagal bayar atau tidak mampu membayar utang tepat pada waktunya. Sebagai konsekuensinya, Beijing diduga telah mengambil alih Bandara Internasional Entebbe tersebut.
 
Ia kemudian mengaitkannya dengan proyek kereta cepat yang konsesinya akan diperpanjang menjadi 80 tahun dan bunganya yang sangat tinggi. Proyek ini sangat berpotensi menjadikan Indonesia senasib dengan Uganda di masa depan.
 
"Jika Pemerintah Indonesia tidak dapat menolak proposal tersebut, perkeretaapian akan berada di bawah pengaruh Tiongkok hingga awal abad ke-22," kata Furqan kepada wartawan, Jumat, 12 Mei 2023.
 
Furqan kembali mencontohkan apa yang dialami Sri Lanka yang terpaksa menyewakan Pelabuhan Hambantota ke Tiongkok dengan imbalan keringanan utang.
 
Pemerintah Srilanka diketahui menyewakan Pelabuhan Hambantota kepada China selama 99 tahun yang berlaku sejak tahun 2017.
 
“Kekhawatiran segenap bangsa Indonesia sangat wajar, mengingat konsesi 80 tahun jelas membuat negara ini terjajah,” ujar Furqan.
 
“Apalagi kami dengar Beijing memiliki telah saham lebih dari 40 persen saham dalam proyek ini,” lanjut Furqan.
 
Indonesia sendiri memiliki 60 persen saham di perusahaan patungan PT Kereta Api Indonesia (KCIC), yang terdiri dari mitra lokal PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia (PSBI) dan konsorsium Tiongkok yang terdiri dari China Railways International Co Ltd dan empat perusahaan lainnya.
 
DPP PII menilai ‘drama utang Tiongkok’ ini adalah kasus kasus klasik diplomasi jebakan utang. Akan terjadi ketika negara kreditur memberikan pinjaman dalam jumlah yang berlebihan, kemudian mengekstraksi konsesi ekonomi atau politik, dan secara bersamaan negara debitur tidak dapat memenuhi kewajiban pembayarannya.  
 
Dalam hal ini, Tiongkok mampu mengambil alih pelabuhan penting secara geostrategis di tengah Samudera Hindia itu.
 
Proyek kereta api cepat di Indonesia sendiri, dimulai pada tahun 2015, yakni dengan membangun jalur kereta api dengan tenggat waktu penyelesaian yang ditetapkan paling cepat tahun 2018, lalu mulai bergulir setahun kemudian.
 
“Namun dalam perjalanannya, terjadi penundaan sehingga meningkatkan total biaya konstruksi sekitar 40 persen, dan memaksa pemerintah Indonesia untuk menggerogoti kas negara sebesar 7 triliun rupiah (468 juta dolar AS),” ujar Furqan.
 
The South China Morning Post melaporkan bahwa proses pembebasan tanah yang rumit dan memakan waktu untuk proyek tersebut belum selesai hingga tahun 2020, karena pemilik tanah di sepanjang rute tersebut menolak untuk menjual, menyebabkan biaya kompensasi meningkat tajam.  
 
Padahal, Beijing melalui China Development Bank yang menawarkan pinjaman untuk menutupi 75 persen dari biaya proyek dengan jangka waktu pembayaran 40 tahun, awalnya menjanjikan proyek kereta api cepat selesai tepat waktu, yakni sebelum pemilihan umum 2019 di Indonesia.
 
Selain itu, berdasarkan laporan AidData menunjukkan bahwa Tiongkok memberikan lebih dari 34,9 miliar dolar AS bantuan keuangan kepada Indonesia antara tahun 2000 dan 2017, yang ditujukan sebagai bantuan pembangunan resmi atau aliran masuk resmi lainnya.  
 
AidData juga melaporkan bahwa Indonesia memiliki 4,95 miliar dolar AS eksposur utang negara ke Tiongkok dan 17,28 miliar dolar AS yang telah ditanggung oleh perusahaan milik negara atau entitas pemerintah lainnya tanpa jaminan negara.
 
“Jika melihat data tersebut, ini menyiratkan bahwa sekitar 78 persen utang Indonesia ke Tiongkok tidak tercermin dalam buku-buku pemerintah, mengumpulkan apa yang digambarkan oleh editorial surat kabar digital online Koran Tempo sebagai “bom waktu yang berdetak” yang dapat berdampak pada pembangunan ekonomi negara,” jelas Furqan.
 
DPP PII menilai wajar jika banyak pihak yang menyimpulkan Indonesia dapat membayar mahal atas sikap "ambil enteng" dan kerusakan yang disebabkan oleh kelalaian negara dalam negosiasi kontrak proyek kereta api.  
 
“Jika tren ini berlanjut setelah Presiden Jokowi mengakhiri masa jabatan lima tahun keduanya pada Oktober 2024, presiden berikutnya dapat memanfaatkan mega proyek kereta api sebagai alat mudah untuk mendelegitimasi pencapaian Jokowi, terutama di bidang infrastruktur,” jelas Furqan.
 
Dengan demikian pemerintah saat ini dan berikutnya berada di ambang dilema yang nyata seperti Sri Lanka dan negara-negara Afrika, di mana negara harus bertanggung jawab membayar bunga yang ditawarkan oleh Tiongkok sebesar 3,4% per tahun dengan tenor selama 30 tahun.
 
“Ngeri sih, apalagi Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi, Luhut Pandjaitan, mengatakan Tiongkok enggan menurunkan bunga pinjaman menjadi 2 persen dengan tenor selama 40 tahun yang merupakan skema pembiayaan awal,” ucap Furqan.
 
“Semoga ada langkah konkret untuk terlepas dari jebakan utang Beijing agar bangsa dan negara ini tidak terjajah Beijing seperti Uganda dan Sri Lanka,” pungkas Furqan.
 

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow akun google news Medcom.id
 
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(DHI)




TERKAIT

BERITA LAINNYA

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan