Kepada The Straits Times, Pattaramon mengaku berdandan ekstra saat bekerja untuk memotivasi diri sendiri. Ia tak ambil pusing dengan komentar negatif yang sering dilayangkan warganet padanya.
"Orang-orang mengomentari saya yang memakai make-up untuk profesi saya. Memang saya tidak bisa terlihat cantik saat bekerja keras? Ini untuk kepuasan saya sendiri” kata Pattaramon, dikutip dari The Straits Times, Senin 21 Agustus 2023
Memiliki lebih dari 300.000 pengikut di TikTok, Bow merasa memiliki citra yang harus dipertahankan. Mayoritas pengikutnya menyebut wanita dua anak ini sebagai tukang sapu jalan paling cantik di Thailand.
Video Pattaramon kerap memikat perhatian dengan aksi centilnya menari atau memberikan reaksi terhadap hal yang tidak biasa, atau lucu saat sedang bekerja. Satu tahun terakhir, Pattaramon viral usai video unggahannya menuai ribuan respons dari warganet.
Dalam video tersebut, ia membantah kritikan seorang wanita tua yang mempermasalahkan dandanannya yang dianggap berlebihan untuk sekedar 'penyapu jalan.'
"Saya bilang, tujuan hidup saya itu untuk jadi cantik, kita harus bisa membuat diri kita sebahagia mungkin," ujar Pattaramon dalam klip yang ditonton lebih dari 3,7 juta kali.
Tidak Malu
Ia juga menegaskan sebagai anak pensiunan penyapu jalan dan sopir truk sampah, ia tidak sama sekali malu dengan profesinya. "Ini adalah profesi yang dilakukan orang tua saya untuk membesarkan saya, jadi saya bangga akan hal itu," jelasnya.Meski kontras antara tugas sehari-hari dengan penampilannya yang terkesan mencolok, namun Pattaramon mengaku hal ini membantunya tumbuh tidak hanya perihal pengikutnya di media sosial, namun juga penghasilannya.
Pattaramon menghasilkan sekitar 12.000 baht sebulan sebagai penyapu jalan di distrik Chom Tong di bawah Otoritas Metropolitan Bangkok. Namun dengan ketenarannya, penghasilannya mencapai 50.000 bath sebulan dari ulasan dan penjualan produk, serta hadiah virtual TikTok dari penggemar yang dapat dikonversi menjadi uang tunai.
Bow ini mengaku keunikan ini sangat membantu kesejahteraan finansialnya, mengingat ia tinggal bersama 10 anggota keluarga lainnya termasuk anak dan orangtuanya.
"Sekarang saya lebih stabil secara finansial. Saya bisa membelanjakan banyak untuk hal-hal kecil seperti memilih pengiriman ekspres saat belanja online, atau makan enak bersama keluarga," katanya.
Dengan munculnya influencer "kelas pekerja" istilah yang dikemukakan oleh pakar, buruh berpenghasilan minim seperti Pattaramon berhasil meningkatkan kualitas hidupnya dengan memberikan cuplikan kehidupan sehari-hari mereka kepada audiens di media sosial.
Beberapa agensi pemasaran digital seperti Platform Group telah menngembangkan tren yang meningkat dari influencer "buruh." Agensi ini mengelola sekitar 500 content creator yang terdiri dari ibu rumah tangga, petugas keamanan, guru, dan pekerja pabrik yang tersebar di kota dan pedesaan Thailand.
Meski tidak ada pendataan resmi mengenai jumlah influencer kerah biru atau buruh, CEO Platform Group Koiluang Konsongsaen memperkirakan jumlah mereka meningkat lebih dari dua kali lipat dalam tiga tahun terakhir.
Pengguna Aktif Tiktok di Thailand
Fenomena ini bukan hal unik di Thailand. Secara global, peningkatan akses gadget dan akses internet telah memicu pertumbuhan penggunaan medsos yang signifikan, khususnya TikTok.Lebih dari 80 persen dari 70 juta penduduk Thailand tercatat sebagai pengguna medsos. Berdasarkan perkiraan, ada 41 juta pengguna aktif TikTok di Thailand.
Dosen Ekonomi Digital di sekolah studi global Universitas Thammasat menyebut, influencer dari kalangan pekerja atau minoritas mendobrak stereotip di masyarakat.
"Influencer kelas pekerja di TikTok dan platform lainnya mendorong perubahan penting dalam ekosistem komunikasi. Mereka menunjukkan ada nilai dalam memberikan suara kepada masyarakat pedesaan dan kelas pekerja serta kelompok minoritas” papar Daniel McFarlane.
Sementara Associate Professor Peerayuth Charoesukmongkol, peneliti perilaku media sosial di sekolah Tinggi Internasional Institut Administrasi Pembangunan Nasional berpendapat, hadirnya influencer kelas ini mendorong masyarakat pengguna medsos untuk tampil lebih nyata.
"Bagi sebagian orang, ini seperti menonton reality show, kehidupan nyata kelas pekerja. Beberapa mungkin terlibat dengannya secara positif di mana mereka mengidentifikasinya, atau secara negatif, di mana orang kaya ingin tahu apa yang dilakukan oleh orang-orang di kelas masyarakat lain,” katanya, dikutip melalui sumber yang sama.
Data yang dikumpulkan Platform Group menunjukkan bahwa segmen kelas pekerja cenderung lebih berhasil dalam kampanye pemasaran yang ditargetkan pada wilayah atau kelompok sosial ekonomi tertentu di Thailand.
Misal, penggunaan kreator yang berbicara dengan dialek lokal untuk kampanye regional meningkatkan partisipasi publik hingga lebih dari 70 persen, kata Dr Poiluang.
"Ada nilai dalam menyajikan sifat pembuatan konten yang beragam dan juga mengubah dialog tentang apa yang dianggap keren atau tidak keren di masyarakat," ujarnya.
Memberikan platform kepada orang seperti Pattaramon, kaum yang suaranya sering diabaikan di masyarakat merupakan hasil positif dari fenomena ini. Menurut analis media sosial, hal ini memberikan kesempatan bagi kaum berpenghasilan rendah untuk menjembatani kesenjangan ketimpangan pendapatan. (Hillary Sitohang)
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News