Pihak keamanan Myanmar siaga di sudut kota. Foto: AFP
Pihak keamanan Myanmar siaga di sudut kota. Foto: AFP

Selesaikan Krisis, APHR Minta Gerakan Pro-Demokrasi Myanmar Dengar Suara Perempuan

Marcheilla Ariesta • 04 Juli 2023 00:01
Chiang Mai: Parlemen ASEAN untuk Hak Asasi Manusia (APHR) gerakan pro-demokrasi Myanmar harus mendengarkan seruan perempuan dan masyarakat etnis serta visi mereka untuk federalisme.
 
Pada 29 Juni lalu, APHR mengadakan pertemuan tertutup dengan para pembela HAM perempuan dan aktivitas dari kelompok masyarakat sipil Myanmar di Chiang Mai, Thailand.
 
Diskusi ini bertujuan menyediakan platform bagi perspektif gender tentang krisis di negara tersebut. Pembahasannya termasuk federalisme, patriarki dan inklusi etnis.

Selama terjadi perang saudara di Myanmar, telah terjadi perjuangan untuk otonomi etnis, termasuk hak atas tanah, bahasa, perawatan kesehatan, pendidikan, dan tradisi mereka.
 
Bagi perempuan, selain memperjuangkan kesetaraan etnis, juga memperjuangkan kesetaraan gender. Dalam konteks Myanmar pasca-kudeta saat ini, tantangan baru telah muncul dan perjuangan baru untuk kesetaraan di semua jenis kelamin dan etnis.
 
“Komitmen dan dedikasi perempuan terhadap perjuangan demokrasi Myanmar terbukti di seluruh gerakan,” kata Anggota Dewan APHR dan mantan Menteri Luar Negeri Thailand Kasit Piromya.
 
"Federalisme tidak dapat eksis di Myanmar tanpa demokrasi dan tentunya bukan tanpa kontribusi perempuan," imbuhnya.
 
Sekretaris Jenderal Gabungan Liga Perempuan Burma, Moon Nay Li mengatakan, perempuan selalu terlibat dalam tindakan revolusioner karena kami percaya pada perdamaian sejati.
 
"Jika kita melihat pencipta konflik, sangat jelas bahwa itu adalah junta Myanmar. Perempuan selalu terlibat dalam tindakan revolusioner karena kami percaya pada perdamaian sejati," ujarnya.
 
Dalam pertemuan tersebut, para pembela dan aktivis hak asasi perempuan sangat jelas bahwa perlu dilakukan lebih banyak refleksi tentang bagaimana gerakan 'pro-demokrasi' saat ini berkembang.
 
Bagi banyak orang, ini termasuk pekerjaan batin, terutama dari mayoritas Bamar, tentang bagaimana 'melepaskan' sikap dan kepercayaan tertentu yang berasal dari Burmanisasi, Buddhisme, dan patriarki.
 
Seruan juga dilakukan kepada komunitas internasional untuk terlibat dengan pemangku kepentingan pro-demokrasi, dan bukan rezim teroris.
 
"Masyarakat internasional, termasuk ASEAN, harus mendukung perempuan pembela hak asasi manusia dan seruan mereka untuk visi federalisme yang lebih inklusif di Myanmar," ucap Ketua APHR dan anggota DPR RI Mercy Barends.
 
"Mengalahkan junta adalah keharusan, tetapi tanpa partisipasi perempuan dan etnis, Myanmar yang demokratis tidak dapat berkelanjutan," pungkasnya.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(FJR)




TERKAIT

BERITA LAINNYA

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan