Dinamika politik di Indonesia juga dinilai Adzhar Ibrahim relatif stabil, berbeda dengan Malaysia yang dalam beberapa tahun terakhir terus mengalami intrik berujung pergantian kekuasaan dalam rentang waktu yang relatif singkat.
Menurut Adzhar Ibrahim, sejak Joko Widodo menang dalam pemilihan umum di tahun 2014 dan 2019, Indonesia berhasil mempertahankan posisinya "di luar liga utama negara-negara korup dan disfungsional."
"Kita selalu mengecam jajaran pemimpin saat situasi memburuk, dan sudah sewajarnya kita mengapresiasi mereka saat situasi membaik. Jokowi tentu saja layak mendapat lebih banyak apresiasi," kata Adzhar Ibrahim, dalam tulisannya berjudul Emulate Jokowi for a Better Malaysian Future di situs FMT, Minggu, 7 November 2021.
Adzhar Ibrahim mengatakan, sebenarnya Malaysia sempat jauh lebih unggul dari Indonesia dalam berbagai bidang di masa lalu. Ia mengklaim Indonesia bahkan pernah merasa iri dengan berbagai kemajuan yang dialami Malaysia di masa-masa itu.
Namun, lanjut dia, sebagian masyarakat Malaysia terlena dengan kemajuan itu dan menjadi "lembek." Generasi-generasi "lembek" dan "pemalas" ini disebut Adzhar Ibrahim turut menyumbang kemunduran Malaysia.
"Indonesia terbukti lebih progresif dan tahan banting dibanding kita. Kita telah menjadi lembek karena kesuksesan terdahulu," ungkap Adzhar Ibrahim. "Indonesia telah mengejar ketertinggalan dan sekarang terus berada di posisi depan," sambungnya.
Masih di masa lalu, atau bahkan hingga saat ini, Adzhar Ibrahim mengatakan sebagian masyarakat Malaysia memandang Indonesia hanya sebagai negara tetangga pengirim tenaga kerja domestik. Namun seiring berjalannya waktu, Adzhar Ibrahim menilai jumlah pekerja migran Indonesia (PMI) yang datang atau dikirim ke Malaysia sudah jauh berkurang.
Ia mengatakan PMI memang masih cukup banyak di Malaysia, baik yang berstatus legal maupun ilegal. Namun menurutnya, ketertarikan warga Indonesia untuk menjadi pekerja di Malaysia sudah tidak lagi sekuat dulu. Adzhar Ibrahim menyebut, situasi saat ini justru sebaliknya.
"Kini, Indonesia adalah destinasi atraktif bagi talenta Malaysia," ucapnya, yang juga pernah bekerja dan tinggal di Jakarta pada 2011.
Selama berada di Indonesia kala itu, Adzhar Ibrahim menilai Indonesia lebih kacau dan korup dibanding Malaysia. Namun di waktu bersamaan, sambungnya, banyak masyarakat Indonesia meyakini situasi akan segera membaik ke depan.
"Ada optimisme di sana, bahwa besok akan lebih baik dari hari ini, dan tentu saja lebih baik dari kemarin. Sementara jika saya melihat di Malaysia, saya merasakan adanya pesimisme. Hari-hari terbaik kita mungkin sudah berlalu," ungkap Adzhar Ibrahim.
Rasa pesimisme itu semakin kuat karena jajaran pemimpin Malaysia disebut Adzhar Ibrahim menerapkan mentalitas mengutamakan kepentingan pribadi ketimbang umum. Ia menyebut pola pikir sebagian politisi di Malaysia dapat diibaratkan dengan istilah "Semua Saya Sapu," atau apapun keuntungan yang ada di depan mata, akan diambil tanpa memperhatikan kepentingan yang lebih luas.
"Seharusnya ada nama partai politik seperti itu (Semua Saya Sapu), atau mungkin partai yang ada sekarang diganti namanya menjadi itu. Setidaknya hal itu akan menghadirkan sedikit kejujuran di dalamnya," tutur Adzhar Ibrahim.
"Jujur, saya sangat malu mengakui bahwa kita perlu sosok pemimpin seperti Jokowi. Seorang warga Malaysia seperti saya, memuji politikus Indonesia dan berharap sosok seperti itu mengatur negara ini? Ya ampun, mengapa situasinya bisa menjadi seperti ini," pungkas dia.
Baca: Profesor Singapura Sebut Jokowi Jenius, Negara Lain Pilih Pemimpin Penipu
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id