“Anak-anak di bawah umur dipukuli dan ditikam dan kuku jari atau giginya dicabut selama interogasi. Sementara beberapa orang dipaksa untuk menjalani eksekusi palsu,” menurut laporan dari pelapor khusus PBB untuk hak asasi manusia di Myanmar, Tom Andrews, seperti dikutip AFP, Rabu 15 Juni 2022.
Junta telah berulang kali memarahi PBB dan negara-negara Barat karena campur tangan dan menolak tuduhan bahwa mereka melakukan kekejaman. Seorang juru bicara militer tidak dapat dihubungi untuk memberikan komentar.
Berdasarkan kontribusi dari badan-badan PBB, kelompok-kelompok kemanusiaan dan hak asasi manusia dan organisasi masyarakat sipil, laporan itu mengatakan 250.000 anak-anak terlantar akibat pertempuran, dan sedikitnya 382 tewas atau cacat, termasuk oleh serangan udara atau artileri berat.
"Serangan tanpa henti junta terhadap anak-anak menggarisbawahi kebobrokan dan kesediaan para jenderal untuk menimbulkan penderitaan besar pada korban yang tidak bersalah dalam upayanya untuk menundukkan rakyat," kata Andrews dalam sebuah pernyataan.
"Serangan junta terhadap anak-anak merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang,” tegasnya.
Myanmar berada dalam kekacauan sejak militer merebut kekuasaan awal tahun lalu dan melancarkan tindakan keras terhadap lawan-lawannya, yang memicu reaksi keras oleh kelompok-kelompok perlawanan yang baru dibentuk.
“PBB telah menerima informasi dari 142 anak-anak yang disiksa oleh tentara, polisi dan milisi pro-tentara. Sementara ada laporan anekdot tentang peningkatan perekrutan pekerja anak, termasuk oleh pejuang antijunta,” imbuhnya.
Andrews mengatakan, dunia harus mengambil tindakan terkoordinasi untuk mengisolasi junta secara finansial dan berkomitmen untuk "peningkatan dramatis" dalam bantuan kemanusiaan.
Dia mengatakan, “anggota PBB harus menanggapi krisis di Myanmar dengan urgensi yang sama seperti mereka menanggapi krisis di Ukraina".
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News