Menteri Luar Negeri Retno Marsudi, ujung tombak diplomasi Indonesia. Foto: Medcom.id
Menteri Luar Negeri Retno Marsudi, ujung tombak diplomasi Indonesia. Foto: Medcom.id

78 Tahun Kemerdekaan RI, Seperti Apa Momen Penting Sejarah Diplomasi Indonesia

Fajar Nugraha • 11 Agustus 2023 18:11
Jakata: Tahun ini, 78 tahun sudah kemerdekaan Republik Indonesia. Sejarah Indonesia juga membentuk perjalanan diplomasi.
 
Ada beberapa momen penting dalam sejarah diplomasi Indonesia. Salah satu yang perlu diperhatikan adalah diplomasi Indonesia di masa kemerdekaan. Berikut momen tersebut yang dikutip dari situs Kemlu.go.id:
 
Masa Kemerdekaan 


1928, Oktober

Kongres Pemuda II di Jakarta melahirkan Sumpah Pemuda yang mengikrarkan satu Bangsa, Tanah Air, dan Bahasa bagi Indonesia, yang merupakan dasar dari pembentukan identitas nasional.


1945, Agustus

Soekarno dan Mohammad Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada  Jumat, 17 Agustus, pukul 10.00 pagi di Pegangsaan Timur yang sekarang berubah menjadi Jalan Proklamasi, Jakarta.

Kabinet pertama RI dibentuk hanya dua hari setelah Proklamasi Kemerdekaan. Ahmad Soebardjo menjadi Menteri Luar Negeri pertama RI. Pada 19 Agustus menjadi hari berdirinya Kementerian Luar Negeri RI.


1945, September

Lapangan Gambir yang kini menjadi Lapangan Monas menjadi ajang ribuan rakyat Indonesia mendengarkan pidato Presiden Soekarno menyambut Proklamasi Kemerdekaan RI.

1946, April

Indonesia mengirimkan misi diplomatik pertamanya ke Belanda untuk berunding dengan pihak Sekutu dan Belanda.


1946, Agustus

Diplomasi bantuan beras Indonesia untuk rakyat India yang sedang dilanda bencana kelaparan. Pemerintah India membalas dengan mengirimkan obat-obatan, pakaian, dan mesin yang dibutuhkan Indonesia.

1947

"Indonesia Office" atau Kantor Urusan Indonesia didirikan di Singapura, Bangkok, dan New Delhi untuk menjadi perwakilan resmi Pemerintah RI, sekaligus menembus blokade ekonomi Belanda terhadap Indonesia.
 
Radio "Voice of Free Indonesia" disiarkan untuk pertama kalinya dari Yogyakarta.


1947, Maret

Indonesia dan Belanda menandatangani Perjanjian Linggarjati, dimana pihak Belanda mengakui kedaulatan RI hanya sebatas Jawa, Sumatra, dan Madura.
 
Pemerintah Mesir yang diwakili oleh Abdul Mounem menyampaikan pengakuan resminya terhadap kemerdekaan Indonesia.

1947, Oktober

Kedatangan Komisi Tiga Negara (Committee of Good Offices) ke Indonesia, mengemban mandat Dewan Keamanan PBB untuk mengatasi sengketa Indonesia - Belanda. Para anggota Komisi adalah Hakim Richard C. Kirby (Australia), mantan Perdana Menteri Paul van Zeeland (Belgia), dan Rektor University of North Carolina Dr. Frank B. Graham (AS).

1948

Mufti Agung Haji Amin El Husni berkunjung ke Indonesia untuk menyampaikan dukungan dan simpati rakyat Palestina atas perjuangan kemerdekaan Indonesia.


1948, Januari

Perjanjian gencatan senjata Indonesia-Belanda ditandatangani di atas kapal USS Renville. Mewakili pihak Indonesia adalah Perdana Menteri Amir Sjarifuddin. Perjanjian Renville merupakan hasil kerja Komisi Tiga Negara (KTN).

1948, September

Wakil Presiden merangkap Perdana Menteri RI Mohammad Hatta menyampaikan prinsip-prinsip kebijakan luar negeri RI yang bebas dan aktif di hadapan Sidang Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP).


1948

Untuk menembus blokade ekonomi Belanda, Menteri Kemakmuran RI Dr. A.K. Gani berangkat dalam sebuah misi diplomatik ke Kuba untuk mengembangkan hubungan perdagangan dengan negara-negara Amerika Latin. Pada tahun yang sama, Indonesia menandatangani kontrak dagang dengan pengusaha AS  dan membina hubungan dengan Bank Dunia.

1948, Desember

Belanda menggelar agresi militer untuk kedua kalinya terhadap Indonesia. Presiden Soekarno, Wapres Moh. Hatta dan Menteri Luar Negeri Agus Salim ditangkap Belanda di ibukota Yogyakarta dan kemudian diasingkan ke Pulau Bangka, Sumatra.
 

Sidang Kabinet Darurat RI kemudian menunjuk Menteri Kemakmuran Sjafruddin Prawiranegara agar membentuk Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI). A.A. Maramis yang saat itu sedang berada di New Delhi menjadi Menteri Luar Negeri PDRI.   


1949, Januari

Dewan Keamanan PBB mengeluarkan resolusi agar Belanda dan Indonesia segera menghentikan segala aktifitas militer. Belanda diminta DK PBB untuk segera melepaskan semua tahanan politik yang ditahan sejak awal Agresi Militer II.
 
Untuk membantu Indonesia yang sedang diserang Belanda, India dengan dukungan Birma menyelenggarakan Konferensi Asia mengenai Indonesia di New Delhi. Konferensi dipimpin langsung oleh PM India Jawaharlal Nehru. Semua delegasi yang hadir saat itu, mulai dari negara-negara Asia hingga  Australia dan Selandia Baru dari Pasifik, mengutuk Agresi Militer II Belanda.
 
Pemerintah Burma (kini Myanmar) memberikan dukungan bagi perjuangan Indonesia melawan Belanda dengan mengizinkan pesawat "Indonesian Airways" Dakota RI-001 Seulawah untuk beroperasi di Burma. Pesawat Seulawah adalah hadiah dari rakyat Aceh kepada Presiden Soekarno.
 
Selain itu, Burma juga memberikan bantuan peralatan radio yang memungkinkan Indonesia membangun jaringan komunikasi radio antara pusat pemerintahan RI di Jawa - PDRI di Sumatera - Perwakilan RI di Rangoon - Perutusan RI untuk PBB di New York.


1949, Juli

Konferensi Inter-Indonesia diselenggarakan diantara "negara-negara federal" di Hindia Belanda, seperti: Jawa Tengah, Bangka, Belitung, Riau, Kalimantan Barat, Dayak Besar. Dalam Konferensi tersebut, negara-negara tersebut mendukung penyerahan tanpa syarat kedaulatan mereka kepada Republik Indonesia.


1949, Desember 

Persetujuan Meja Bundar ditandatangani di Den Haag, mengakhiri konflik diantara Indonesia dan Belanda.
 
Pada hari yang sama (27 Desember 1949), Wakil Kerajaan Belanda menyerahkan kekuasaan formal kepada Pemerintah Republik Indonesia Serikat (RIS) di Jakarta, yang diwakili oleh Sri Sultan Hamengku Buwono IX selaku Penjabat Perdana Menteri RIS.
 
Presiden RIS Soekarno kemudian membentuk kabinet pertamanya. Perdana Menteri merangkap Menteri Luar Negeri RIS adalah Mohammad Hatta.
 
Amerika Serikat (AS) menjadi negara pertama yang membuka perwakilan diplomatik di Jakarta setelah penyerahan kedaulatan Belanda kepada RIS, hanya tiga hari setelah Konperensi Meja Bundar di Den Haag. Merle Cochran menjadi Duta Besar pertama AS untuk Indonesia. Langkah AS itu kemudian segera disusul oleh Inggris, Belanda, dan Tiongkok.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(FJR)




TERKAIT

BERITA LAINNYA

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan