Pria 95 tahun itu memicu kemarahan luas usai menyatakan bahwa "Muslim berhak marah dan membunuh jutaan warga Prancis atas pembantaian di masa lalu." Pernyataan itu ia tulis dalam sebuah blog pada Kamis kemarin.
Twitter menyingkirkan tulisan Mahathir yang mengandung pernyataan tersebut, karena dinilai menyerukan kekerasan. Sementara Menteri Digital Prancis meminta Twitter untuk melarang Mahathir menggunakan media sosial tersebut.
"Saya kesal dengan upaya memelintir dan mengambil komentar saya di luar konteks," kata Mahathir, dilansir dari laman Guardian pada Sabtu, 31 Oktober 2020.
Ia mengatakan komentarnya itu diambil hanya sebagian sehingga menjadi kontroversial. Mahathir mengatakan ada kalimat lanjutan setelah itu: "Namun sebagian besar Muslim tidak menerapkan hukum 'nyawa dibayar nyawa.' Muslim tidak melakukan itu. Prancis juga sebaiknya tidak. Prancis harus mengajarkan warganya untuk menghormati perasaan orang lain."
Mahathir kesal karena Twitter dan Facebook menghapus komentarnya itu meski sudah menjelaskannya secara penuh.
Baca: Mahathir Sebut Muslim Punya Hak untuk Bunuh Warga Prancis
Facebook Malaysia mengatakan dalam sebuah surat elektronik bahwa komentar Mahathir melanggar kebijakan perusahaan. "Kami tidak mengizinkan adanya ujaran kebencian di Facebook, dan mengecam keras segala dukungan terhadap kekerasan, kematian, dan kekerasan fisik," ucapnya.
Komentar kontroversial Mahathir merupakan respons terhadap seruan negara dan tokoh Muslim untuk memboikot produk-produk Prancis. Seruan boikot disampaikan usai Presiden Prancis Emmanuel Macron menyebut Islam sebagai negara yang sedang berada "dalam krisis."
Macron juga membela kartun Nabi Muhammad buatan Charlie Hebdo, yang disebutnya sebagai bentuk dari kebebasan berekspresi. Kartun kontroversial tersebut telah berujung pada pemenggalan seorang guru bernama Samuel Paty.
Belum lama ini, kontroversi seputar kartun tersebut juga memicu terjadinya aksi penikaman di kota Nice.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News