Jumat kemarin, Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik (AAPP) mencatat total 618 pengunjuk rasa di Myanmar tewas di tangan pasukan keamanan sejak terjadinya kudeta pada 1 Februari lalu.
Dalam bentrokan di Bago, para prajurit dikabarkan mengumpulkan 20 jenazah pedemo di sebuah kuil Buddha.
"Media lokal mengonfirmasi 20 korban jiwa sejauh ini. Namun warga sipil yang kami hubungi di kawasan mengklaim angka kematiannya mencapai 60," kata seorang aktivis bernama Keren Khin kepada kantor berita Anadolu Agency.
"Kami mendengar bentrokan terjadi sejak malam hingga dini hari, dan sejumlah jasad warga sipil disembunyikan di beberapa mobil militer," sambungnya.
Menurut Khin, junta Myanmar terlihat semakin ingin menyudahi gerakan perlawanan warga dengan meningkatkan aksi kekerasan setinggi mungkin. Ia menyebut hal ini terlihat dari pasukan keamanan Myanmar yang mulai menggunakan persenjataan berat alih-alih senjata biasa.
Militer Myanmar melakukan kudeta pada 1 Februari lalu yang diawali dengan penahanan sejumlah tokoh penting, termasuk pemimpin de facto Aung San Suu Kyi dan Presiden Win Myint.
Tak lama usai kudeta, warga Myanmar pun turun ke jalan dan menggelar aksi protes masif hingga saat ini. Junta Myanmar merespons aksi pembangkangan ini dengan menggunakan aksi kekerasan meski komunitas internasional telah berulang kali melayangkan kecaman keras.
Di Amerika Serikat, Duta Besar Myanmar Kyaw Moe Tun meminta Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB) untuk menerapkan embargo senjata dan juga sanksi terhadap jajaran militer Myanmar.
Nama Dubes Kyaw menjadi pemberitaan dunia setelah dirinya secara terbuka menentang kudeta yang terjadi di negaranya.
Baca: Dubes Myanmar Desak PBB Terapkan Embargo dan Sanksi ke Junta Militer
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News