"Penghapusan mandatory hukuman mati atau seumur hidup itu tidak absolut. Kewenangan memutuskan permintaan peninjauan kembali (PK) itu merupakan keputusan hakim, dan tidak semua disetujui," kata Hermono.
Ia mengatakan, bisa saja hakim menolak kasus tertentu. Dan tugas pemerintah serta organisasi masyarakat sipil (CSO) untuk memberikan penjelasan ke publik dan edukasi mengenai masalah ini.
"Edukasi ke masyarakat supaya bisa paham masalah ini, bahwa tidak semua peninjauan kembali akan otomatis dibebaskan," katanya.
Ia mewanti-wanti, jangan sampai karena CSO tidak memahami detail hukum, pihak organisasi masyarakat sipil malah justru menjadi pihak yang menekan pemerintah.
"Karena kurang memahami bahwa mandatori ini tidak absolut," katanya.
"Peran CSO sangat krusial untuk menjelaskan ke publik dan juga ke keluarganya," tegas Hermnono.
Penjelasan ke keluarga penting, kata Hermono, terkait dengan yang sudah dilakukan pemerintah. "Dan perlu ditegaskan bahwa ini sepenuhnya kewenangan hakim (untuk menyetujui PK)," lanjutnya.
Direktur Perlindungan WNI dan Badan Hukum Indonesia (PWNI dan BHI) Kementerian Luar Negeri RI Judha Nugraha mengatakan, total ada 168 WNI yang terancam hukuman mati.
Data yang diungkap Judha tercatat hingga Agustus 2023.
Dari data tersebut, 157 ada di Malaysia, empat WNI terancam hukuman mati di Uni Emirat Arab, tiga di Arab Saudi, tiga Laos, dan satu Vietnam. Para WNI paling banyak dihukum mati karena narkoba sebanyak 110 kasus, dan pembunuhan 58 kasus.
Baca juga: 168 WNI Terancam Hukuman Mati di Luar Negeri, Paling Banyak di Malaysia
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
