Pekan lalu, delegasi dari Myanmar mengunjungi kamp pengungsi terbesar di dunia di distrik Cox's Bazar di Bangladesh, rumah bagi lebih dari 1 juta Rohingya. Mereka ke sana untuk mewawancarai kandidat potensial untuk kepulangan mereka paling cepat bulan depan.
Hampir 800.000 Rohingya melarikan diri dari tanah air mereka di Myanmar pada 2017 setelah penumpasan brutal militer di mana ribuan etnis minoritas Muslim dibunuh, diperkosa, dan properti mereka dibakar sebagai bagian dari kampanye bumi hangus.
Puluhan ribu Rohingya yang teraniaya berlindung di Bangladesh sebelum tindakan keras 2017, menurut PBB dilakukan dengan "niat genosida". Dalam laporan 2018, PBB menyerukan panglima militer Min Aung Hlaing, dan jenderal lainnya, untuk menghadapi tuduhan genosida.
Rohingya yang tersisa di Myanmar menderita segregasi dan diskriminasi yang meluas serta kewarganegaraan mereka dicabut. Kelompok-kelompok HAM mengatakan, langkah-langkah itu sama dengan apartheid.
“Kami melihat langkah ini sebagai kampanye PR (humas). Jika junta benar-benar ingin memulangkan para pengungsi, mereka sudah memiliki daftar lebih dari 800.000 pengungsi dari tahun-tahun sebelumnya dan dapat mengungkapkan rencana mereka lebih awal,” kata Nay San Lwin, salah satu pendiri Koalisi Pembebasan Rohingya, dilansir dari Al Jazeera, Jumat, 24 Maret 2023.
“Keputusan untuk memulangkan 1.000 pengungsi ini tampaknya merupakan upaya untuk mengurangi tekanan dari Tiongkok dan negara lain,” katanya.
Para jenderal Myanmar merebut kekuasaan dalam kudeta pada Februari 2021, menjerumuskan negara Asia Tenggara itu ke dalam kekacauan politik baru hanya 10 tahun setelah berakhirnya 49 tahun pemerintahan militer yang ketat.
Kunjungan delegasi Myanmar ke kamp-kamp tersebut diyakini ditengahi oleh Tiongkok dan difasilitasi oleh Badan Pengungsi PBB (UNHCR).
Nur Alom (42), yang melarikan diri ke Bangladesh pada September 2017 bersama istri dan tiga anaknya dari distrik Maungdaw di negara bagian Rakhine Myanmar mengatakan, dia tidak tertarik untuk kembali ke Myanmar tanpa memastikan kewarganegaraan.
“Tim Myanmar tidak mengatakan sepatah kata pun tentang apakah kami akan diberikan kewarganegaraan. Mereka bahkan tidak menyebut kami Rohingya. Apa jaminan kita akan aman jika kembali?,” kata Alom, salah satu pengungsi Rohingya yang diwawancarai oleh delegasi Myanmar.
Alom mengatakan, kehidupan di dalam kamp pengungsi yang penuh sesak di Bangladesh tidak bermartabat tapi setidaknya aman.
Begitu pula dengan Noor Kolima (31). “Hati saya sakit untuk tanah air saya di Myanmar. Tentu saja, saya ingin kembali. Tapi kenangan tentang apa yang kami hadapi di sana beberapa tahun lalu menghantui saya,” katanya.
“Mereka (tim Myanmar) mengajukan banyak pertanyaan tetapi tidak memberikan jawaban apa pun untuk pertanyaan kami. Kami punya pertanyaan juga. Kami ingin memastikan bahwa kami kembali ke tempat yang aman,” tambahnya.
Deutsche Welle melaporkan bahwa sekitar 3.000 orang Rohingya telah dipilih untuk proses verifikasi.
Nay San mengatakan, proses verifikasi tidak jelas dan tidak ada yang mau mendengarkan tuntutan para pengungsi Rohingya. “Junta tidak memiliki rencana untuk mengembalikan kewarganegaraan dan hak-hak Rohingya. Junta belum menyatakan bahwa mereka yang kembali akan diizinkan kembali ke tempat asalnya atau diberi kebebasan bergerak,” katanya.
“Ada banyak alasan lain mengapa para pengungsi tidak bisa mempercayai junta, terutama karena genosida masih berlangsung. Pengungsi Rohingya yang kembali tanpa izin resmi ditangkap dan dihukum, dan mereka yang melarikan diri ke Malaysia juga ditangkap dan dihukum hingga lima tahun,” sambung dia.
Ia mengungkapkan, kekhawatiran terbesarnya adalah jika tidak ada jaminan, maka siklus kekerasan terhadap Rohingya dapat terulang kembali.
Sementara itu, UNHCR membela keputusannya untuk memfasilitasi delegasi Myanmar, dengan mengatakan, "Kami mendukung upaya yang dapat mengarah pada verifikasi semua pengungsi dan membuka jalan untuk pemulangan kembali".
Badan tersebut menegaskan kembali bahwa kondisi di Myanmar saat ini tidak aman bagi Rohingya.
Nay San mengatakan semua hak Rohingya, termasuk hak kewarganegaraan, perlu dipulihkan sebelum mereka kembali ke tempat asalnya di Myanmar. “Rohingya harus diberikan hak yang sama dengan kelompok etnis lain di Myanmar,” kata Nay San.
“Jika hak-hak ini dijamin, semua pengungsi akan bersedia untuk kembali,” pungkasnya.
Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow akun Google News Medcom.id
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id