Pemandangan salah satu sudut DKI Jakarta. (Foto: AFP)
Pemandangan salah satu sudut DKI Jakarta. (Foto: AFP)

Studi: Kota-Kota Pesisir Asia Tenggara Kian Terancam Tenggelam, Apa Kabar Jakarta?

Medcom • 21 September 2022 16:47
Singapura: Sebuah studi terbaru menyebutkan bahwa sejumlah kota pesisir di Asia Tenggara terancam tenggelam dengan kecepatan tertinggi jika dibandingkan kawasan lain. Studi dilakukan oleh tim ilmuwan internasional yang dipimpin oleh Nanyang Technological University (NTU).
 
Dalam studi tersebut, disebutkan juga bahwa permukaan air laut meningkat secara global seiring mencairnya lapisan es Bumi dan menghangatnya banyak perairan.
 
Cheryl Tay, mahasiswa Asian School of the Environment dari NTU dan Earth Observatory of Singapore, mencatat bahwa banyak kota pesisir Asia telah menjadi pusat pertumbuhan dan urbanisasi. Hal ini telah mendorong permintaan ekstraksi air tanah untuk memenuhi kebutuhan air yang terus meningkat.

"Hal ini menyebabkan tanah (daratan) tenggelam dengan cepat," ujar Tay, yang merupakan penulis pertama dari studi NTU yang bekerja sama dengan University of New Mexico, ETH Zürich dan Jet Propulsion Lab NASA yang dikelola California Institute of Technology.
 
Tay dan tim ilmuwan telah memproses serangkaian foto satelit 48 kota pesisir yang dikumpulkan sejak 2014 hingga 2020. Analisis foto menunjukkan bahwa kecepatan tenggelam rata-rata dari 48 kota tersebut adalah 16,2 millimeter (mm) per tahun.
 
Beberapa kota dalam studi NTU memperlihatkan penurunan tanah sebesar 43 mm per tahun, yang bervariasi tergantung kondisi lingkungan.
 
Saat ini, rata-rata kenaikan permukaan laut global sudah mencapai 3,7 mm per tahun. Data studi menunjukkan bahwa Jakarta tenggelam dengan kecepatan rata-rata 4,4 mm per tahun, sedangkan Ho Chi Minh City dengan kecepatan 16,2 mm. 
 
Laporan ini telah menunjukkan bahwa ekstraksi air tanah yang berlebihan adalah penyebab utama penurunan tanah di kedua kota tersebut. Selain itu, Ho Chi Minh City disebutkan dalam studi memiliki konsentrasi bangunan tinggi di daerah dengan fondasi lemah, yang juga menjadi salah satu penyebab penurunan tanah.
 
Baca:  Penurunan Permukaan Tanah di Pesisir Jakarta Kian Mengkhawatirkan, Ini Kata Warga
 
Namun tidak hanya itu, curah hujan ekstrem dan kenaikan permukaan laut yang disebabkan perubahan iklim serta penurunan tanah juga dapat menyebabkan banjir terjadi lebih sering, kata Tay. Bahkan, banjir diprediksi dapat berlangsung lebih intens dan berkepanjangan di tempat-tempat berisiko tinggi dalam beberapa tahun ke depan.
 
"Banjir dapat mengganggu bisnis serta merusak properti dan infrastruktur. Dalam kasus ekstrem, banjir permanen dapat memengaruhi mata pencaharian di lahan pertanian produktif, dan memaksa penduduk untuk pindah karena tempat tinggal mereka menjadi tidak layak huni," tambah Tay, seperti dikutip dari laman The Straits Times pada Rabu, 21 September 2022.
 
Sementara itu di Singapura, permukaan air laut naik rata-rata tiga mm hingga empat mm per tahun. Data dari Meteorological Service Singapore pada 2020 menunjukkan bahwa permukaan air laut di Singapura telah naik 14 sentimeter sejak sejak penghitungan sebelum tahun 1970.
 
Proyeksi iklim juga menunjukkan bahwa rata-rata permukaan air laut di sekitar Singapura diproyeksikan naik hingga satu meter pada 2100. Permukaan ini bahkan bisa naik hingga ke angka empat atau lima meter jika efek lain seperti gelombang badai (kenaikan air yang tidak normal dari badai) -- yang terjadi dua hingga empat kali setahun -- juga dimasukkan dalam hitungan.
 
Tim peneliti studi terbaru ini telah melakukan perbandingan kota-kota pesisir di seluruh dunia. Data perbandingan menunjukkan dengan jelas bahwa laju penurunan tanah tercepat terkonsentrasi di negara-negara Asia, terutama di Asia Tenggara.
 
Profesor Ilmu Bumi Emma Hill, Ketua Sekolah Lingkungan Asia di NTU, mengatakan bahwa dalam banyak penelitian sebelumnya tentang kenaikan permukaan laut, penurunan volume tanah masih sering diabaikan, atau tidak dilakukan karena pengukurannya relatif sulit.
 
"Studi terbaru ini penting karena memberikan lompatan ke depan dalam kemampuan ilmuwan untuk memasukkan penurunan tanah ke dalam studi kenaikan permukaan air laut. Mengukur perubahan ketinggian tanah secara akurat memang sangatlah penting untuk Asia, di mana banyak kota pesisir besar mengalami penurunan secara cepat," ujar Profesor Hill, yang merupakan salah satu penulis di penelitian ini.
 
Tay menanggapi pernyataan Hill, dengan mengatakan bahwa pemerintah negara-negara dunia dapat membentuk pertahanan area pantai dengan membangun tembok laut atau memanfaatkan solusi berbasis alam, seperti menanam tanaman bakau, untuk mengatasi masalah penurunan tanah.
 
"Mereka juga harus dapat mengatasi akar masalahnya. Jika ekstraksi sumber daya seperti air tanah, minyak dan gas adalah penyebab utama penurunan tanah di kota tertentu, maka solusi yang disesuaikan untuk setiap yurisdiksi juga diperlukan," ujar Tay.
 
Sementara itu, Profesor Philip Liu dari Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan dari National University of Singapore, yang tidak terlibat dalam penelitian ini, mengatakan bahwa sumber daya air lain akan diperlukan untuk menggantikan ekstraksi air tanah.
 
Selain itu, rencana pengisian ulang air tanah seperti dengan memompa air yang digunakan menjadi akuifer (lapisan bawah tanah dari batuan permeabel) akan sangat diperlukan .
 
"Namun kebijakan-kebijakan ini membutuhkan kemauan politik (political will)," ujar Liu. (Gabriella Carissa Maharani Prahyta)
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(WIL)




TERKAIT

BERITA LAINNYA

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan