"Eksekusi terhadap empat tahanan politik di tangan junta militer di Myanmar adalah tindakan barbarisme yudisial," kata APHR dalam pernyataan mereka pada Senin, 25 Juli 2022.
Media pemerintah Myanmar mengumumkan bahwa hukuman mati telah dilakukan pada tanggal yang tidak ditentukan di Penjara Insein, Yangon. Keempat pria yang dieksekusi, semuanya didakwa berdasarkan undang-undang anti-terorisme, adalah Phyo Zeya Thaw, mantan anggota parlemen untuk Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD), aktivis terkemuka Kyaw Min Yu -- dikenal luas sebagai 'Ko Jimmy' -- Aung Thura Zaw, dan Hla Myo Aung.
Hukuman mati ini, menurut APHR, adalah eksekusi yudisial pertama yang diketahui dilakukan di Myanmar sejak 1988.
"Komunitas global, dan semua anggota ASEAN khususnya, harus menganggap pembunuhan berdarah dingin ini sebagai peringatan lain tentang sifat sebenarnya dari rezim teror yang coba diterapkan oleh militer Myanmar," kata Eva Sundari, mantan anggota DPR RI dan Anggota Dewan APHR.
Menurut Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik kelompok Myanmar (AAPP), per 22 Juli ada 76 tahanan di Myanmar yang dijatuhi hukuman mati, termasuk dua anak-anak. Sementara 41 orang telah dijatuhi hukuman mati secara in absentia.
Sejak kudeta yang dilakukan militer Myanmar pada 1 Februari 2021, setidaknya 2.114 orang dibunuh Dewan Administrasi Negara (SAC) yang dipimpin Kepala Junta, Jenderal Min Aung Hlaing.
Hukuman mati ini, menurut APHR, harus dilihat sebagai upaya militer Myanmar untuk memberikan lapisan legalitas pembunuhan politik. Namun terbukti bahwa hukuman tersebut dijatuhkan pengadilan militer tanpa ada unsur dan tidak menghormati proses hukum.
"Jelas bahwa eksekusi ini dilakukan untuk menimbulkan ketakutan di antara perwakilan kekuatan demokrasi dan aktivis politik yang menentang junta. Kami percaya bahwa semua orang yang dituduh oleh junta militer diadili secara rahasia, tidak adil dan pengadilan yang berat sebelah tanpa perlindungan hukum," ucap Tom Villarin, mantan anggota parlemen Filipina dan Anggota Dewan APHR.
"Banyak tahanan politik menjadi sasaran penyiksaan dan bentuk lain dari perlakuan kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat, dan sekarang ada puluhan tahanan di penjara Myanmar yang bisa dieksekusi kapan saja," ujar dia.
Charles Santiago, Anggota Parlemen dari Malaysia, dan Ketua APHR mengatakan, rezim militer sebelumnya, yang memerintah di Myanmar antara 1988 dan 2011, telah berani melakukan hukuman mati terhadap tahanan politik.
"Ini berarti peningkatan lain dalam kebrutalan junta, yang berasal dari rasa impunitas yang sebagian besar dipupuk kegagalan komunitas global dalam melakukan sesuatu yang efektif untuk mencegah junta melakukan kekejaman lebih lanjut," serunya.
Baca: Junta Myanmar Eksekusi Mati 4 Aktivis Pro-Demokrasi
5 Poin Konsensus ASEAN Tak Dijalankan
Eksekusi juga menjadi bukti bahwa SAC yang dipimpin Min Aung Hlaing tidak berniat terlibat dalam dialog politik dengan kekuatan pro-demokrasi yang dipimpin Pemerintah Persatuan Nasional Myanmar (NUG). Dialog seperti itu, salah satu poin kunci dari Konsensus Lima Poin yang disepakati negara-negara ASEAN dan Min Aung Hlaing pada April 2021, tidak pernah terwujud.Konsensus juga menyerukan penghentian segera aksi kekerasan, yang sayangnya juga tidak terwujud hingga kini.
"Penghinaan junta terhadap perjanjian yang ditandatanganinya sudah jelas, terutama mengingat pengumuman eksekusi ini datang dua minggu setelah Utusan Khusus Ketua ASEAN untuk Myanmar, Menteri Luar Negeri Kamboja Prak Sokhonn, mengunjungi negara itu. Utusan Khusus, dan anggota ASEAN, harus mengutuk eksekusi ini, dan secara serius memikirkan kembali pendekatan mereka terhadap krisis di Myanmar," kata Kasit Piromya, mantan anggota parlemen dan Menteri Luar Negeri di Thailand yang juga anggota Dewan APHR.
"Sebagai permulaan, mereka harus mulai menekan SAC dengan sanksi yang ditargetkan dan larangan bepergian di wilayah tersebut untuk menunjukkan kepada Min Aung Hlaing dan anak buahnya bahwa mereka tidak dapat melakukan kejahatan dengan impunitas," pungkasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News