medcom.id, Caracas: Pemimpin oposisi Venezuela dan calon presiden dua kali, Henrique Capriles, mengaku ia telah dilarang memegang jabatan politik selama 15 tahun. Pelarangan ini bisa membangkitkan protes terhadap pemerintah sayap kiri.
Tidak jelas mengapa pihak berwenang mengambil tindakan terhadap Capriles. Tapi hukuman itu menjadi pukulan ke kubu oposisi setelah protes menyala, pekan ini. Para demonstran menuduh Presiden Nicolas Maduro memimpin negara secara diktator dan menindak perbedaan pendapat.
Larangan memegang jabatan akan menyetop langkah Capriles mencalonkan diri sebagai presiden lagi dalam pemilihan yang dijadwalkan akhir 2018.
Hukumannya kemungkinan juga akan memicu kemarahan menjelang protes oposisi yang direncanakan, Sabtu 8 April. Keputusan ini muncul menyusul serangkaian pawai kekerasan, memprotes putusan Mahkamah Agung yang mengambil alih kongres, pekan lalu, sebelum pasukan pemerintah memukul para pemrotes mundur. Seorang pengunjuk rasa tewas, pada Kamis 6 April.
"PENTING: Saya menginformasikan kepada negara dan opini publik internasional bahwa saya diberitahu saat ini dilarang berpolitik selama 15 tahun," tweet dari Capriles, seraya membubuhkan bahwa tim kuasa hukumnya akan berbicara, Jumat 7 April.
Kantor pengawas keuangan Venezuela selama satu dekade telah menggunakan prosedur yang dikenal sebagai “diskualifikasi”. Prosedur ini menghalangi politisi memegang jabatan jika mereka dianggap telah melakukan “penyimpangan” dalam mengelola sumber daya negara.
Pengawas keuangan awal tahun ini mengatakan, sedang mempertimbangkan pelarangan Capriles memegang jabatan politik. Saat ini, Capriles menjabat sebagai gubernur Miranda, negara bagian di pesisir tengah Venezuela.
Selama beberapa hari terakhir, pihak berwajib juga menuduh Capriles mengobarkan kekerasan dan pertumpahan darah dengan memimpin protes semakin intens terhadap Maduro yang tidak populer.
Capriles berkata, dia sedang diselidiki dalam kaitannya dengan sumbangan dari kedutaan Inggris dan Polandia dan untuk menghabiskan uang negara membeli barang-barang yang tidak disetujui. Kedubes Inggris menolak berkomentar, sementara Kedubes Polandia tidak menanggapi.
Juru bicara kantor pengawas keuangan mengatakan, informasi adanya warga yang dilarang berpolitik hanya untuk “pihak-pihak terkait.” Dilarang menjabat tidak berarti dihukum penjara, meskipun pihak berwenang secara rutin menuduh Capriles berkonspirasi melawan pemerintah dan mengobarkan kekerasan.
Pemerintah mengatakan, penyelidikan pengawas keuangan menjadi bagian dari upaya kampanye antikorupsi. Para pemimpin oposisi mengatakan, mekanisme yang berlaku telah sewenang-wenang, memungkinkan Partai Sosialis yang berkuasa untuk menyingkirkan jajaran politisi populer tanpa proses pengadilan.
Keputusan yang secara politis menetralisir pengaruh Capriles, kemungkinan akan memicu ketegangan di Venezuela, di mana lebih dari 100 tahanan politik sekarang ditahan, menurut oposisi dan kelompok hak asasi.
Sesama pemimpin oposisi, Leopoldo Lopez, politisi Venezuela paling terkenal yang pernah dipenjarakan, dilarang dari jabatannya pada 2008. Ketika itu, dia walikota populer di sebuah distrik Caracas.
Lopez sudah diperkirakan akan menantang mendiang pemimpin Hugo Chavez dalam pilpres 2012. Tetapi terpaksa menyerahkan tongkat estafet kepada Capriles, yang kalah suara melawan seteru lain, Maduro, pada 2013, setelah kematian Chavez.
Pemerintahan Maduro telah mengatakan bahwa bisnis elit Amerika Serikat (AS) yang mendukung oposisi bertanggung jawab atas anjloknya ekonomi Venezuela. Disebut-sebut bahwa pihak AS mencoba untuk memicu kudeta guna memaksakan aturan sayap kanan.
"Capriles, Anda mau mencoba membakar negara," kata pejabat Partai Sosialis Freddy Bernal selama demo pro-pemerintah, Kamis.
"Anda mencari kematian. Jangan kemudian tampil seperti banci mengatakan bahwa Anda seorang tahanan politik. Jangan kemudian menangis kalau Anda sedang dianiaya," kecamnya, seperti dikutip Stabroek News dari Reuters, Sabtu 8 April 2017.
Ribuan lawan Maduro berbaris, pada Kamis, demi memprotes putusan pengadilan yang dikendalikan pemerintah untuk mengambil alih kongres pimpinan oposisi. Putusan itu disebut demonstran adalah kesengsaraan menuju kediktatoran.
Pemerintah Venezuela menegaskan, seorang pria 19 tahun tewas, Kamis, selama demonstrasi. Mereka bersumpah untuk menyelidiki serangan fatal itu. Nyawa korban hilang dalam protes mematikan pertama kalinya sejak kontroversi Mahkamah Agung meledak, pekan lalu.
Jaksa penuntut umum mengatakan, pada Jumat sore, akan menuntut perwira polisi Rohenluis Mata atas kematian Jairo Ortiz ketika korban berada di tengah protes, Kamis.
Para pemimpin oposisi menyebut, korban ditembak saat otoritas berusaha membubarkan protes di perbukitan, daerah miskin Carrizal di pinggiran Caracas, yang dikenal sebagai pemukiman yang disediakan negara.
Media lokal melaporkan, Ortiz adalah seorang mahasiswa yang berencana pindah dari Venezuela, seperti banyak kaum kelas menengah yang sudah melarikan diri ke Kolombia, Panama, Chile, atau Miami kota AS, demi menyelamatkan diri dari krisis ekonomi dan kekacauan politik.
Ekonomi Venezuela yang tergantung pada minyak menderita resesi brutal. Akibatnya jutaan orang kelaparan di tengah inflasi yang curam dan gaji rendah.
Anggota parlemen berkumpul, Jumat, di depan kantor ombudsman HAM negara di waktu fajar. Mereka membungkus pita merah dihiasi kata-kata 'bahaya, jangan masuk' di sekitar gedung dalam protes kejutan.
"Kami menyatakan kantor ini ditutup karena dikembalikan kepada rakyat," cuitan legislator oposisi Milagros Paz di Twitter. "Jairo Ortiz tewas di tangan rezim ini," serunya.
Pihak oposisi, yang menuduh ketua ombudsman Tarek Saab menjadi boneka pemerintah Maduro, diblokir, pada Kamis, saat berbaris ke kantor ombudsman. Saab mengutuk kematian Ortiz, pada Jumat, menyebutnya sebagai 'pembunuhan keji'. Maduro mengatakan, pihak berwenang menahan 30 orang yang terlibat dalam demonstrasi, Kamis.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News