Masalah muncul ketika Trump sebagai pemegang tampuk kekuasaan di Negeri Paman Sam, dianggap menggunakan kekuasaannya untuk mempengaruhi persaingan menuju Pemilu Presiden AS 2020. Sasaran yang diincar Trump sudah jelas; Joe Biden.
Putra dari Joe Biden diketahui memiliki usaha di Ukraina. Ini yang menjadi senjata bagi Donald Trump. Sadar bahwa Ukraina memiliki kebergantungan kerja sama militer dengan Amerika Serikat, Trump pun memainkan kartunya.
Pada 18 Juli 2019, Trump tanpa penjelasan menunda bantuan militer sebesar USD391 juta kepada Ukraina. Terungkap bahwa pada 25 Juli, Trump meminta Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky melakukan dua penyelidikan terhadap Hunter Biden. Penyelidikan dilakukan dengan kerja sama bersama pengacara pribadi Trump, Rudy Giuliani, bersama Jaksa Agung William Barr.
Isu ini terkuak setelah percakapan telepon tersebut dilaporkan oleh seorang pembocor rahasia atau whistleblower. Ini yang menjadi akar permasalahan. Banyak pihak pun menilai Trump telah melakukan pelanggaran, termasuk penyalahgunaan kekuasaan.
Sebuah surat elektronik yang didapat oleh Pusat Integritas Publik AS menunjukkan bahwa sekitar 91 menit, usai Presiden Trump berbicara dengan Presiden Zelenskiy via sambungan telepon pada Juli lalu, Pemerintah AS pun membekukan bantuan untuk Ukraina.
Dalam surat itu ditunjukkan bahwa staf Gedung Putih, Mike Duffey, menghubungi pejabat Kementerian Pertahanan dan memintanya untuk menahan bantuan untuk Ukraina. Permintaan itu dilayangkan sekitar 1,5 jam usai Trump berdiskusi dengan Zelenskiy via telepon pada 25 Juli.
Proses pemakzulan
Merasa yakin bahwa penundaan bantuan militer bisa dicabut oleh AS, Presiden Zelensky berencana mengumumkan penyelidikan terhadap usaha dari Hunter Biden, yang belakangan menyasar ke Joe Biden langsung. Pengumuman itu rencananya akan dilakukan dalam wawancara Zelenksy di CNN pada 13 September.Namun, sejak Agustus, materi mengenai dugaan pemaksaan Trump kepada Ukraina mulai bocor. Desakan untuk penyelidikan pemakzulan terhadap Trump terkait kasus ini pun merebak.
Pada Oktober, tiga komite Kongres termasuk Komite Intelijen, Pemeriksaan, dan Hubungan Luar Negeri mengumumkan saksi atas kasus ini. Saksi termasuk adalah Duta Besar Bill Taylor, petinggi Pentagon, Laura Cooper, dan mantan pegawai Gedung Putih Fiona Hill. Mereka memberikan kesaksian bahwa Presiden Trump menginginkan Zelensky mengumumkan pemeriksaan terhadap Joe dan Hunter Biden serta perusahaan gas Burisma, tempat Hunter bekerja.
Akhirnya pada 31 Oktober DPR AS sepakat untuk menggelar persidangan dengar pendapat. Sebanyak 232 suara mendukung persidangan itu dan 196 lainnya menolak.
Fakta-fakta muncul dalam persidangan ini, termasuk kesaksian dari kalangan diplomat AS dan juga dari mantan pegawai Gedung Putih sendiri.
Pasal pemakzulan
Proses pemakzulan terhadap Donald Trump mulai dimulai secara terbuka. Pada 10 Desember, Komite Peradilan DPR AS mengumumkan dua pasal pemakzulan yang menjerat Trump.Pasal pertama adalah penyalahgunaan kekuasaan dan pasal kedua adalah menghalangi kerja Kongres. 13 Desember Kongres menyetujui dua pasal tersebut diajukan dalam voting pemakzulan Trump yang dijadwalkan pada 18 Desember.
Menarik melihat kedua pasal tersebut. Sebelumnya Ketua Komite Intelijen Kongres Adam Schiff menilai Trump menerima suap dan penipuan. Namun pada akhirnya, suap dan penipuan masuk dalam pasal penyelahgunaan kekuasaan.
Hasil yang sudah bisa ditebak muncul pada 18 Desember. Kongres atau biasa disebut DPR AS resmi memakzulkan Trump.
Pada pasal penyalahgunaan kekuasaan, sebanyak 230 suara memberikan dukungan pemakzulan sementara 197 lainnya menolak. Sedangkan pada pasal menghalangi kerja Kongres didukung 229 suara dan yang menolak 198 suara.
Tanggapan
Segera setelah hasil voting pemakzulan keluar, Trump mengamuk melalui media arus utama dan media sosial. Baginya, Partai Demokrat yang menjadi otak pemakzulan ini telah mengupayakan kudeta politik terhadap warga AS yang patriotik.Selain itu, Trump juga melabeli pemakzulan terhadap dirinya ilegal dan tidak konstitusional. Kepercayaan diri Trump pun masih tinggi menatap Pilpres AS 2020.
Penasihat kampanye Trump untuk Pilpres AS 2020 Corey Lewandowski mengatakan banyak daerah-daerah yang pada dasarnya tidak menghendaki pemakzulan terhadap Trump.
“Daerah seperti North Carolina yang merupakan swing voter menginginkan Trump tidak dimakzulkan. Tetapi, Demokrat justru tetap memilih memakzulkan Trump. Ini tentunya akan merusak suara Demokrat sendiri di pilpres,” ucapnya kepada Fox News.
“Saya jamin. Trump akan terpilih kembali dengan suara lebih besar dari Pilpres 2016,” tegasnya.
Masa depan Trump
Usai voting pemakzulan, Partai Demokrat yang menguasai Kongres harus menyerahkan pasal pemakzulan ke Senat untuk dilanjutkan persidangan pemakzulan. Hasil persidangan di Senat ini bisa menentukan nasib Trump di pemerintahan.Tetapi, Senat AS dikuasai oleh Partai Republik yang mengusung Trump pada Pilpres AS 2016. Pimpinan mayoritas Senat AS Mitch McConnell menegaskan sudah berkoordinasi dengan Gedung Putih dan pengacara Trump untuk menghadapi persidangan.
Rencananya, sidang pemakzulan di Senat ini akan dilakukan pada Januari 2020. Namun, dengan berkuasanya Republik, hampir pasti Trump tidak akan lengser dari jabatannya dan melanjutkan untuk bertarung di Pilpres AS 2020.
Kecuali ada tindakan Trump yang melukai Partai Republik yang bisa memicu pemakzulan, posisi Trump sebagai Presiden AS diyakini aman. Trump pun kini terus fokus berkampanye menjelang Pilpres AS 2020.
Sementara untuk Partai Demokrat, persidangan di Senat menjadi pertaruhan mereka. Jika kalah, dipastikan dukungan terhadap Demokrat di Pilpres AS 2020 akan luntur. Bukan tidak mungkin Trump akan menang besar dalam pemilu mendatang.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News