Turki melancarkan operasi militer ke Suriah utara pada 9 Oktober untuk menghabisi pasukan Kurdi yang dianggap teroris. Invasi dilakukan usai Trump memerintahkan penarikan pasukan AS dari perbatasan Suriah.
Kurdi yang merasa ditelantarkan AS, kemudian meminta bantuan ke Pemerintah Suriah. Damaskus pun merespons, dan mengirim pasukannya ke wilayah utara untuk membantu Kurdi.
"Siapapun yang mau membantu Suriah dalam melindungi Kurdi akan saya apresiasi, baik itu Rusia, Tiongkok atau Napoleon Bonaparte. Saya berharap mereka semua dapat membantu," tulis Trump di Twitter, dilansir dari AFP, Senin 14 Oktober 2019.
Trump menilai sebaiknya Suriah atau negara-negara lain di kawasan membantu Kurdi menghadapi Turki. Ia mengatakan AS adalah negara yang berlokasi sangat jauh dari Suriah, dengan rentang jarak berkisar 11 ribu kilometer.
Mengenai penarikan pasukan, Trump menyebut misi melawan kelompok militan Islamic State (ISIS) di Suriah telah "100 persen" selesai. Namun selang beberapa waktu ia mengatakan seluruh pasukan AS yang ditarik dari Suriah utara akan dikerahkan kembali ke kawasan untuk mencegah kebangkitan ISIS.
"Biarkan Suriah dan (Presiden Bashar) Assad melindungi Kurdi dan berperang melawan Turki di tanah mereka sendiri. Saya pernah berkata kepada para jenderal AS, mengapa kita harus berperang untuk Suriah dan Assad, mengapa kita harus melindungi tanah milik musuh kita?" sambung Trump.
Sementara itu, Presiden Prancis Emmanuel Macron telah menghubungi Trump dan memintanya untuk mencegah kebangkitan ISIS di Suriah.
Macron khawatir penarikan pasukan AS dan operasi militer Turki terhadap Kurdi di Suriah utara meningkatkan ancaman munculnya kembali ISIS.
Kantor kepresidenan Prancis mengatakan Macron juga membicarakan hal serupa dengan Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan dan Presiden Irak Barham Saleh.
Prancis dan negara-negara Eropa lainnya khawatir ratusan hingga ribuan tahanan ISIS yang berada di penjara Kurdi dapat melarikan diri di tengah invasi Turki ke Suriah utara.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News