Donald Trump berikan pidato kemenangan (Foto: AFP).
Donald Trump berikan pidato kemenangan (Foto: AFP).

Catatan Akhir Tahun 2016

Mengapa Trump Bisa Kalahkan Clinton?

Willy Haryono • 30 Desember 2016 17:58
medcom.id, Jakarta: Kemenangan Donald Trump dalam pemilihan umum presiden Amerika Serikat (AS) mengejutkan banyak pihak, bahkan mungkin tim kampanyenya sendiri. Tidak sedikit pula yang belum bisa menerima hasil itu.
 
Dalam berbagai survei dan polling, Trump dan Hillary Clinton bersaing ketat dengan selisih tipis. Namun secara keseluruhan, berbagai hitung-hitungan cenderung memenangkan Clinton. Masyarakat AS dan dunia yakin kemungkinan Clinton akan menjadi presiden wanita pertama di Negeri Paman Sam.
 
Hal ini diperkuat berbagai 'pukulan telak' yang diterima Trump, setelah berbagai keburukannya di masa lalu terungkap. Dalam beberapa debat pun Clinton terlihat lebih unggul dalam melontarkan retorika ketimbang lawannya. 

Mengapa Trump Bisa Kalahkan Clinton?
Sumber: 4cinsights.com
 
 
Namun hampir semua prediksi itu meleset. Trump menang, Clinton kalah. Apa yang sebenarnya terjadi?
 
Banyak survei dan polling memprediksikan kemenangan mudah bagi Clinton, tapi kini banyak orang bisa jadi setuju semua model estimasi itu tidak akurat. 
 
Saat para ahli statistika memutar otak tak habis pikir tentang apa yang salah dengan hitung-hitungan mereka, sejumlah analis media sosial mengklaim penghitungan mereka jauh lebih baik. Mereka mengklaim model estimasinya lebih menangkap apa yang sebenarnya terjadi di lapangan. Mereka mengklaim dapat melihat kemungkinan kemenangan Trump jauh-jauh hari. 
 
"Sejumlah analis mengawasi aktivitas kedua kubu di media sosial, dan mereka memperkirakan hasil dari pilpres sejak berbulan-bulan lalu. Mereka juga terus membicarakan mengenai pemilih silent voter/swing voter berjumlah masif yang berkumpul di seputaran calon Partai Republik," ucap Phil Ross, seorang analis media sosial dari Socialbakers. 
 
"Para analis medsos terus menyuarakan bahwa semua polling itu tidak merefleksikan situasi sebenarnya di lapangan," tambah dia. 
 
Clinton lebih banyak menghabiskan dana untuk iklan televisi ketimbang Trump, memiliki lebih banyak pos pemenangan dan mengirim timnya ke beberapa negara bagian swing state lebih awal. Namun Trump lebih memilih menggunakan medsos untuk mencapai dan menumbuhkan para pendukungnya. 
 
Sejak dulu, jauh sebelum pilpres 2016, Trump sudah dikenal senang bersuara melalui medsos favoritnya: Twitter. 
 
Kekuatan medsos tidak bisa diremehkan, karena menurut Socialbakers, terkuaknya keburukan Trump pada 7 Oktober lalu -- saat dirinya terekam mengucapkan kata-kata vulgar terkait wanita -- justru semakin meningkatkan jumlah pendukungnya di dunia maya. 

Mengapa Trump Bisa Kalahkan Clinton?
Sumber: Simply Measured
 
 
Grup analis lainnya, seperti SimplyMeasured, melihat sentimen media terhadap Trump lebih positif ketimbang Clinton pada momen pilpres. Semasa kampanye, Trump juga lebih banyak di-mention netizen dengan sentimen positif ketimbang rivalnya. 
 
Clinton menutup kekurangannya itu pada akhir Oktober dan awal November. Namun, momentum Trump kembali meningkat saat mendekati 8 November. Keterpurukan Clinton juga dipengaruhi skandal surat elektronik yang kembali dibuka FBI. 
 
Meski sentimen terhadap Trump lebih negatif ketimbang Clinton hingga debat terakhir, namun jurang perbedaan antar keduanya semakin menyusut saat detik-detik terakhir menuju 8 November.
 
Tren serupa dideteksi grup analis 4C Insights atau The WSJ. Analisa mereka memperlihatkan bahwa Trump memiliki lebih banyak dukungan di Facebook dan Twitter sejak awal Oktober hingga 7 November. Sentimen positif untuk Tump 58 persen, sedangkan Clinton hanya 48 persen.
 
Analisa dari grup Brandwatch juga memperlihatkan bahwa Trump lebih banyak di-mention di Twitter ketimbang Clinton sepanjang masa kampanye, termasuk di hari-H. Dari awal pilpres pada 8 November dan pukul 01.30 pada 9 November, Trump mengumpulkan lebih dari 4,9 juta mention, sementara Clinton hanya 2,7 juta. 
 
Tentu saja tidak semua grup analis meyakini data mereka dapat mencerminkan kemenangan Trump. Laporan bertolak belakang dari CNET sebagai contohnya. CNET menunjukkan bahwa grup Spredfast meyakini ada terlalu banyak indikasi yang saling bertubrukan pada saat pilpres untuk dapat membuat prediksi akurat. 
 
Medsos juga tidak menunjukkan angka sesungguhnya pendukung Trump. Semasa kampanye, ada banyak pendukung Trump yang tidak memperlihatkan sikapnya di medsos. 
 
Spredfast mengatakan kepada CNET, sejumlah pendukung itu baru menggunakan medsos saat kemenangan Trump terlihat memungkinkan. Setelah Trump meraih kemenangan di Florida dan Ohio, dukungan di medsos terus meningkat. 
 
Peran medsos yang cukup signifikan patut dipertimbangkan dalam pemilu-pemilu berikutnya. Namun patut dicatat, bahwa data di medsos juga bukan segalanya. Survei dan polling diyakini masih tetap dibutuhkan, namun akurasinya perlu ditingkatkan.
 
Masih banyak perdebatan mengenai apakah dukungan di medsos bisa menjadi gambaran nyata bagi jumlah suara sesungguhnya dalam pilpres. Medsos masih dianggap sebagai dunia partisipasi pasif, yang belum tentu berbanding lurus di dunia nyata. 
 
Beberapa pakar telah lama menilai pendekatan medsos hanya memiliki sedikit kegunaan, dan dianggap sering tidak dapat menghasilkan perubahan nyata. Namun dalam pilpres AS 2016, penilaian tersebut meleset, sama seperti beragam polling lainnya. Trump mematahkan ekspektasi banyak orang.

Mengapa Trump Bisa Kalahkan Clinton?
Sumber: Simply Measured
 
 
Pesan Sederhana
 
Trump meniru dan mengucapkan kembali janji mantan presiden Ronald Reagan yang ingin membuat Amerika menjadi hebat kembali. Slogan empat kata Trump, "Make America Great Again," menangkap sisi pesimisme dan optimisme, ketakutan dan juga harapan masyarakat. 
 
Lewat slogannya, Trump ingin mengajak warga AS kembali ke zaman keemasan, era sekitar 1950 hingga 1980-an. Pesan Trump langsung sampai ke hati banyak warga. Berbeda dengan Clinton yang lebih fokus kepada proposal teknis. 
 
"Make America Great Again" merupakan pesan yang ditujukan ke hati, bukan kepala, di sebuah negara di mana nilai patriotismenya tidak dapat diremehkan. 
 
"Ini bersifat patriotik. Mereka (warga AS) percaya kepada negaranya. Ada kekhawatiran mendalam bahwa negara mereka tengah direnggut dan dikhianati. Jadi saya rasa karena warga sangat kesal dengan kondisi saat ini, mereka lalu berharap kepada Trump meski dirinya memiliki banyak kekurangan," ucap Chris Matthews, seorang jurnalis MSNBC. 
 
"Kekesalan mereka sangat dalam, sehingga semua sisi buruk Trump seakan tak signifikan lagi. Kekesalan ini sangat kuat," sambung dia. 
 
Figur Selebritas
 
Pada 2003, Trump menjadi bintang dalam acara televisi The Apprentice. Dalam acara itu ia membuka pendaftaran kepada orang-orang yang ingin bekerja di perusahaannya. Selama satu dekade, tertanam pemahaman di benak masyarakat AS dan dunia bahwa Trump adalah pebisnis handal dan seorang bos serba bisa. 
 
Selama 10 tahun, Trump menjadi seorang bos, CEO, pria yang senang memecat orang, namun dapat memperbaiki segala sesuatu terkait bisnis. Citra Trump sebagai pria yang tahu segalanya juga terbentuk selama berlangsungnya acara. 
 
"Saya rasa kepribadian dan sepak terjang Trump telah tertanam di benak banyak orang. Mereka memercayai dia," ungkap Gwenda Blair, penulis biografi Trump.
 
Dalam era digital di mana informasi adalah segalanya, Trump tidak hanya meraih keuntungan dari segi materi, tapi juga memetik untung dari figur selebritas. Ia meraup hasil yang ditanam sejak lama pada 8 November. 
 
Keuntungan Melawan Republik
 
Trump mendeklarasikan perang kepada partainya sendiri. Selama dan setelah kampanye, dia menyerang keluarga Bush, Ketua DPR Paul Ryan, mantan capres Mitt Romney, John McCain dan politikus Republik lainnya. Biasanya sikap seperti ini akan membuat seorang kandidat kehilangan dukungan politik atau finansial. 
 
Namun banyak pendukung Trump senang dengan deklarasi perang itu. Banyak pendukung Republik yang mengeluhkan bahwa perwakilan mereka di Kongres gagal memenuhi janji-janji terdahulu mereka. Para pendukung Republik kesal oleh banyaknya deadlock politik selama bertahun-tahun. Mereka menginginkan perubahan. 
 
Jadi saat Paul Ryan, Romney dan lainnya mengecam Trump, justru itu menguntungkan sang kandidat. Trump menanggalkan beragam aturan partai dan menjadi sosok orang luar yang siap menghadirkan perubahan di Washington. 
 
Di waktu yang sama, Komite Nasional Republik tidak pernah kehilangan keyakinan kepada Trump. Kepala Komite Reince Priebus segera mendeklarasikan Trump sebagai kandidat capres, dan memaklumi segala aksi kontroversialnya. Kepala Strategis dan Komunikasi Sean Spicer juga terus mendukung sepak terjang Trump. 
 
Meski Trump mendapat banyak kecaman dan melakukan berbagai aksi kontroversial, mesin Partai Republik tetap berjalan untuk menyiapkan kemenangannya. 
 
Mengapa Trump Bisa Kalahkan Clinton?
 
 
Antitesis
 
Demografi AS tidak menguntungkan Trump dalam pilpres 2016. Saat Obama pertama kali dipilih pada 2008, 74 persen total pemilih adalah warga kulit putih. Pada 2012, angka itu turun menjadi 71 persen, dan pada 2016 merosot ke 69 persen. 
 
Setelah kekalahan Romney empat tahun lalu, laporan Republik mendesak partai untuk menggapai pemilih wanita dan minoritas untuk tetap bertahan hidup. Trump melakukan hal yang sebaliknya: merendahkan wanita dan menyerang minoritas. 
 
Ada tekanan lainnya: Partai Demokrat sudah menguasai Gedung Putih delapan tahun terakhir. Clinton akan menjadi capres pertama sejak George HW Bush pada 1988 yang akan memperpanjang kekuasaan Demokrat untuk tiga periode jika memenangkan pilpres. Tingginya kepuasan publik atas Presiden Barack Obama juga tidak menyurutkan niat Trump dalam melawan arus dan arahan Republik.
 
David Axelrod, orang penting di balik kemenangan Obama, menulis di New York Times pada Januari tahun lalu: "Pilpres terbuka diasah oleh persepsi gaya dan kepribadian petahana yang akan berakhir masa jabatannya. Para pemilih jarang mencari replika dari yang sudah ada. Mereka hampir selalu mencari sesuatu yang baru, seorang kandidat yang memiliki kualitas personal yang tidak ada di presiden sebelumnya."
 
Axelrod mengatakan banyak pendukung dan tokoh Republik mengecam kualitas yang ada dalam diri Obama. Pertimbangan Obama dinilai sebagai keragu-raguan; kesabaran sebagai kelemahan. Seruan Obama untuk mendorong toleransi juga membuat banyak pendukung Republik geram, yang tidak suka dengan semakin beragamnya demografi AS. 
 
"Jadi siapa di kalangan tokoh Republik yang paling antitesis dengan Obama selain pria bermulut kotor, otoriter, seperti Trump?" tanya Axelrod. 
 
Rasis dan Merendahkan Wanita
 
Trump dikenal lewat serangkaian pernyataan yang merendahkan wanita, warga kulit hitam AS, imigran Meksiko, Muslim, penyandang cacat dan warga taat konstitusi. Dalam musim pilpres lain, mungkin kandidat semacam itu akan langsung didiskualifikasi. Namun saat gelombang pernyataan kontroversial itu disuarakan media, banyak orang yang sepakat dengan sikap Trump. 
 
Ada juga beberapa warga AS yang tidak mau dipimpin presiden wanita. Rasisme tidak perlahan memudar di AS, namun justru semakin kuat dalam musim pilpres kali ini, sejak Obama menjadi presiden pertama dari kalangan kulit hitam. 
 
Mayoritas kulit putih di AS (56 persen) -- termasuk tiga dalam empat (74 persen) dari Kristen Protestan -- mengatakan bahwa masyarakat Amerika telah berubah ke titik terburuk sejak era 1950-an. Hal ini didasarkan survei terbaru dari Public Religion Research Institute. 
 
Trump adalah bentuk kekuatan protes terakhir di tengah masyarakat AS yang sudah muak dengan kondisi saat ini. Banyak warga AS melihat Trump sebagai bom molotov yang perlu dilemparkan untuk mengubah seluruhnya sistem perpolitikan AS.
 
Kemiripan dengan Brexit
 
Kemenangan Trump mirip hasil referendum Brexit, di mana warga Inggris memutuskan tetap berada di Uni Eropa atau tidak. Dinna Wisnu, pengamat Hubungan Internasional Paramadina Graduate School of Diplomacy, menilai dari sisi emosi, hampir semua pihak, khususnya yang memilih untuk remain (tetap di UE), terkejut dengan hasil yang ada karena dalam dua pekan berturut-turut, mayoritas lembaga poling mengunggulkan kubu ini dibandingkan leave (meninggalkan UE). 
 
Rasa percaya diri yang kuat juga menghinggapi para pemimpin Eropa yang dalam menit-menit menjelang pemungutan suara, masih yakin bahwa Inggris tidak akan hengkang. Kepanikan, kecewa dan kemarahan pun memuncak ketika KPU Inggris mengumumkan pihak leave mencapai 51,9% dan remain 48,1%. 
 
Jumlah pemilih yang ikut referendum mencapai lebih dari 30 juta orang, dan menurut BBC angka kepesertaan ini tertinggi dibandingkan pemilu-pemilu Inggris sejak 1992. Inggris pun resmi keluar dari UE (Britain exit atau Brexit).
 
Trump dan referendum Brexit sama-sama mematahkan banyak prediksi dan ekspektasi. Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada survei atau polling yang benar-benar akurat dalam suatu pemilihan, sehingga hasil akhirnya dapat berubah dari perkiraan banyak orang di detik-detik terakhir. 
 
Medsos juga patut dipertimbangkan sebagai suatu alat yang dapat memengaruhi hasil suatu pemilihan, baik itu pilpres atau referendum.
 
 

 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(DOR)




TERKAIT

BERITA LAINNYA

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan