"Kami mengekspresikan kekhawatiran mendalam atas kekerasan di Rakhine dan trauma yang dialami Rohingya serta komunitas lainnya," ucap juru bicara Kementerian Luar Negeri AS Heather Nauert, seperti dikutip AFP, Senin 23 Oktober 2017.
"Merupakan hal penting bahwa individu atau entitas yang bertanggung jawab atas kekerasan ini, termasuk aktor non-negara dan pihak main hakim sendiri (vigilante), harus diseret ke jalur hukum," lanjut dia.
Kekerasan terbaru di Rakhine meletus pada 25 Agustus, usai kelompok militan Arakan Rohingya Salvation Army atau ARSA menyerang beberapa pos polisi di perbatasan Myanmar. Militer Myanmar merespons dengan operasi brutal yang berimbas buruk pada warga sipil.
Pekan lalu, Menlu AS Rex Tillerson mengatakan Negeri Paman Sam menganggap Myanmar bertanggung jawab atas krisis pengungsian di Rakhine.
"Dunia tidak akan tinggal diam dan hanya menyaksikan kekejaman yang telah dilaporkan," tegas Tillerson, yang menambahkan bahwa militer Myanmar harus didisiplinkan dan dicegah dalam melakukan aksi-aksi kekerasan.
Lebih dari 600 ribu pengungsi asal Rakhine yang didominasi Rohingya melarikan diri ke Bangladesh sejak akhir Agustus. PBB menyebutnya sebagai krisis pengungsian terburuk yang skalanya meluas dalam waktu cepat.
Washington sudah memiliki beberapa batasan dalam hubungannya dengan militer Myanmar. Salah satu batasan itu adalah embargo segala jenis penjualan barang militer. Sejumlah perwira militer Myanmar juga tidak diundang dalam berbagai acara global yang disponsori AS.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News