Soleimani tewas dalam serangan udara AS di dekat bandara di Baghdad, Irak. Trump menyebut Soleimani harus dibunuh karena tengah merencanakan serangan terhadap diplomat dan personel militer AS di Irak dan kawasan.
Kematian Soleimani memicu "pembalasan keras" dari Iran, yang meluncurkan belasan misil balistik ke dua pangkalan yang menampung pasukan AS di Irak pada 8 Januari. Tidak ada kematian dalam serangan itu, meski televisi nasional Iran sempat mengklaim ada 80 personel AS yang tewas.
Masih dari laporan New York Times, Minggu 12 Januari 2020, Soleimani telah diawasi intelijen AS selama berbulan-bulan. Operasi pengawasan terhadap sang jenderal meningkat pada Mei lalu.
Soleimani diketahui sering terbang dengan menggunakan pesawat komersil. Untuk menghindari pengawasan, ia kerap memesan beberapa tiket sekaligus, dan juga sering duduk di kelas bisnis agar dapat keluar dengan cepat begitu pesawat mendarat.
September lalu, otoritas pertahanan AS mempertimbangkan menyerang Soleimani, namun mengatakan kepada Trump bahwa terlalu berisiko jika melakukannya di Iran. AS kemudian membuat beberapa opsi serangan di dua negara, antara Irak atau Suriah.
Saat ketegangan antara AS dan Iran meningkat, Soleimani terbang ke Lebanon di awal Tahun Baru untuk bertemu pemimpin Hezbollah, Hassan Nasrallah. Di sana, Nasrallah mengingatkan Soleimani mengenai kemungkinan adanya upaya percobaan pembunuhan.
Sang jenderal disebut-sebut hanya tertawa mendengar ucapan Nasrallah, dan berharap jika pada akhirnya harus tewas, ia akan menjadi seorang martir.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News