Pernyataan de Alba disampaikan di tengah momen berlangsungnya Sidang Majelis Umum PBB sejak tanggal 17 hingga 30 September mendatang. Isu perubahan iklim menjadi salah satu agenda utama, dan dibahas khusus dalam sesi terpisah di Konferensi Tingkat Tinggi Aksi Iklim PBB dari tanggal 21 hingga 23 September.
"Masalah terbesar saat ini adalah, kita perlu meningkatkan target. Walau seandainya seluruh komitmen dalam Perjanjian Iklim Paris 2015 terpenuhi, hasilnya masih relatif di bawah level yang kita butuhkan saat ini," kata de Alba, dikutip dari Sky News, Senin 23 September 2019.
"Sejumlah laporan terbaru dari komunitas sains menunjukkan bahwa kita harus meningkatkan dua hingga tiga kali lipat dari komitmen dan target (Perjanjian Iklim) Paris," cetusnya.
De Alba menilai perubahan iklim bergerak lebih cepat dari perkiraan banyak orang, sehingga target serta komitmen di bidang lingkungan pun harus disesuaikan. Ia juga mengaku kecewa terhadap Amerika Serikat, salah satu negara penyumbang polusi terbesar, yang menarik diri dari Perjanjian Iklim Paris 2015.
Beberapa hari sebelumnya, jutaan orang di sejumlah negara dunia berunjuk rasa terkait perubahan iklim. Massa menyerukan kepada para pemimpun dunia untuk serius menangani perubahan iklim lewat aksi nyata.
Mantan Sekretaris Jenderal PBB Ban Ki-moon mengaku optimistis. Ia yakin pada akhirnya AS akan kembali berkomitmen terhadap upaya bersama dalam memerangi perubahan iklim.
"Saya yakin Amerika Serikat akan kembali, karena perubahan iklim bersifat lintas negara dan tidak pandang bulu," tutur Ban kepada Sky News.
Dalam KTT Aksi Iklim PBB 2019, setiap negara yang ingin menyuarakan pendapat harus mampu menghadirkan rencana konkret serta meningkatkan komitmen di bidang lingkungan.
Namun sejumlah pengamat menilai pembahasan isu perubahan iklim di New York mungkin akan terkendala masalah besar lain, seperti Brexit, perang dagang AS dan Tiongkok serta ketegangan di wilayah Teluk.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News