Melestarikan tradisi adalah hal penting bagi para personel Candei, yang terdiri dari Fram Prasetyo (Vokalis dan Gitar), Triwibowo S.P. (Suling), Putra Kusuma (Gitar Klasik), Syahlan Loebis (Perkusi), dan Fajrin Ramadani (Akordeon).
Dalam setiap lagunya mereka menggunakan bahasa lokal maupun alat musik tradisional, yang diperpadukan dengan alat musik modern. Hal ini sebagai bentuk kecintaan Candei terhadap tradisi yang telah membawa mereka hingga saat ini.
“Karena saya asli orang Kikim (Salah satu kecamatan di Kab. Lahat) lirik lagu saya tetap menggunakan bahasa Kikim, sedangkan musik itu seiring berjalan waktu, ” kata Fram dalam wawancara eksklusif bersama Medcom.id.
Baca Juga: Candei Angkat Isu Terkini dalam Balutan Musik Tradisi |
Kiblat dalam bermusik Candei bersumber dari tradisi Batanghari Sembilan. Batanghari Sembilan merupakan istilah untuk irama musik dengan petikan gitar tunggal yang dikenal dari wilayah Sumatera Selatan. Berangkat dari Tradisi Berejung, Candei mengemas ulang tradisi tersebut dalam balutan musik kontemporer, tanpa harus menghilangkan karakter tradisional itu sendiri.
Dalam album kali ini, Candei menghadirkan lima lagu berbahasa Melayu Besemah dengan judul “Ghimbe,” “Sendari,” “Tighta Raje,” “Cerite Baghi,” dan “Tikate Tue.” Setiap lagu dari album Ini membawa ceritanya masing-masing.
“Sebenarnya lagu Candei ini temanya adalah yang terdekat dengan masalah sosial yang saya alami, terutama lagu ‘Tighta Raje’,” ucap Fram.
Melalui lagu “Tighta Raje,” Candei ingin mengkritik pemerintah daerah Sumatera Selatan saat era covid lalu, yang semena-mena dalam mengambil kebijakan.
“Menurut saya di desa saya keputusannya semena-mena pada saat itu (era covid-19), kebijakan tentang bantuan langsung tunai. Jadi kebijakan itu yang saya kritisi sebenarnya. Jadi ‘Tighta Raje,’ itu kalau raja sudah ngomong, susah untuk menggempur itu,” tutur Fram.
Baca Juga: Line-up Seru DWP 2024 Hari 1: Dipha Barus hingga Zedd |
Seluruh syair dalam lagu-lagu Candei ditulis oleh Fram dalam bahasa Besemah, yaitu bahasa dari suku Melayu Besemah yang mendiami beberapa wilayah di Sumatera Selatan.
“Awalnya ingin menggunakan Bahasa Indonesia, tetapi rekan-rekan mendorong saya untuk mengangkat bahasa daerah sebagai identitas. Bahasa Besemah adalah bahasa asli saya,” ucap Fram yang hingga kini menetap di daerah asalnya, Kikim, Kabupaten Lahat.
Setiap lagu dalam album mini self titled ini bercerita tentang tradisi yang menyimpang dan mengarah ke hal-hal negatif, yang menyoroti pentingnya mempertahankan nilai-nilai budaya yang baik.
Bahasa Ibu Records Jadi Wadah Candei Dalam Berkarya
Dalam mewujudkan impian Candei dalam membawa musik tradisi ke arah yang lebih luas, Candei mendapat dukungan dari label musik yang juga memiliki perhatian serius soal tradisi, yakni Bahasa Ibu Records (BIR).
Bahasa Ibu Records (BIR) merupakan label turunan dari Demajors Records yang berfokus pada karya musik populer dengan tradisi lokal Indonesia. Berdiri sejak 21 April 2023, BIR berdedikasi untuk melestarikan kekayaan musik tradisional Indonesia, sambil mendukung perkembangan industri musik lokal.
Mini album Candei sudah tersedia dalam format digital, juga rilisan fisik berupa compact disc serta vinyl. Hal ini memberikan kesempatan bagi para penikmat musik untuk mengakses karya mereka dalam berbagai cara.
Dengan perilisan self titled, Candei mengajak pendengar untuk menikmati perjalanan musik yang penuh makna. Album mini Self Titled sudah bisa didengarkan di seluruh platform digital, yakni Spotify, YouTube Music, TikTok Music, Apple Music, dan Langit Musik.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id