Mike Shinoda selaku pendiri grup ini menjelaskan bahwa awalnya lagu tersebut ditulis sebagai bentuk penghormatan untuk seorang wanita di label rekaman mereka yang telah meninggal. Namun, setelah kepergian Chester, publik menganggapnya sebagai dedikasi untuk rekan satu grupnya itu.
"Dunia memutuskan bahwa lagu ini tentang dia. Jadi, terlalu menyedihkan untuk dimainkan," ujar Shinoda melalui surat kabar The Guardian.
Setelah tragedi tersebut, Shinoda mengambil jeda dari Linkin Park dan mencurahkan perasaannya melalui album solo bertajuk “Post Traumatic”. Karya itu menjadi semacam catatan harian untuk memproses kesedihannya. Meski awalnya ia merasa perlu tampil live untuk meyakinkan penggemar bahwa ia masih ada, lama-kelamaan tur tersebut justru terasa melelahkan secara emosional.
| baca juga:
|
Ia menggambarkan pengalamannya seperti seorang terapis yang harus menangani kepedihan orang lain sepanjang hari. "Saya mulai pulih, bisa bangun pagi tanpa terbebani, tapi di pertunjukan, separuh penonton menangis. Itu sangat menguras energi," tuturnya.
“Tahukah Anda bagaimana terapis melihat pasien sepanjang hari dan membantu mereka, tetapi kemudian mereka sendiri membutuhkan terapi? Begitulah yang saya rasakan,” lanjut Shinoda.
Ia juga menekankan bahwa move on bukan berarti melupakan, melainkan belajar hidup dengan kehilangan tersebut. Meski demikian, ia mengakui bahwa proses itu penting baginya dan para penggemar. Tur tersebut menjadi ruang bagi mereka untuk berduka bersama.
Sementara itu, penggemar masih bisa menikmati karya-karya lama band ini, meski beberapa lagu seperti "One More Light" mungkin tak lagi hadir di panggung. Keputusan ini menunjukkan betapa dalamnya ikatan emosional antara band, musik, dan penggemar mereka.
Hingga kini, warisan Chester Bennington tetap hidup melalui musik Linkin Park, sementara anggota yang tersisa memilih menghormati kenangan dengan cara mereka sendiri.
(Maulia Chasanah)
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
