Namun, Guruh Soekarno Putra menegaskan bahwa album tersebut tidak hanya merepresentasikan gamelan Bali.
Dalam siniar pengarsipan musik Shindu's Scoop bersama dua personel Guruh Gipsy yang tersisa, Keenan Nasution (drum) dan Abadi Soesman (keyboard, synthesizer), Guruh menekankan bahwa unsur musikal yang digunakan datang dari berbagai daerah di Nusantara.
"Nah ini saking orang Indonesia tuh banyak yang awam terhadap gamelan. Sebetulnya tuh yang nada-nada pentatoniknya itu, saya ambil bukan dari Bali aja. Ada dari Jawa, Sunda segala macam," ungkap Guruh Sukarno Putra.
baca juga:
|
Salah satu contohnya terdengar dalam lagu "Chopin Larung". Banyak yang mengira gamelan dalam lagu tersebut berasal dari Bali, padahal Guruh menegaskan bahwa nada pelog yang dipakai justru khas Sunda.
"Kayak 'Chopin Larung' tuh sebetulnya gamelannya tuh bukan Bali aja. Itu pelognya gamelan Sunda sebetulnya," sambungnya.
Harmoni, Disharmoni, dan Kearifan Lokal
Dalam sesi wawancara tersebut, Guruh juga sempat menerangkan perbedaan mendasar antara musik Barat dan gamelan Nusantara. Komposer band Guruh Gipsy itu menyebut jika musik Barat disiplin dalam hal frekuensi dan nada yang seragam. Sementara gamelan justru lebih luwes dengan perbedaan antar instrumen."Ada satu keuntungan dari musik Indonesia dalam hal ini contohnya gamelan. Jadi gini, kalo musik Barat itu dia taat asas disiplin, misalnya soal frekuensi. Jadi nada-nadanya tuh udah ada ukurannya sendiri, seperti Do Re Mi Fa Sol tuh berapa frekuensi tuh udah ada gitu," jelas Guruh.
Ia menambahkan, standar seperti itu tidak berlaku pada gamelan. Setiap daerah bahkan bisa memiliki perbedaan kecil dalam susunan nadanya.
"Sedangkan kalo Indonesia gamelan tuh belum ada. Mungkin sekarang udah ada yang dibakukan, tapi yang terjadi bahwa gamelan-gamelan di daerah-daerah tuh ada bedanya meskipun sedikit," lanjutnya.
Keunikan lain, kata Guruh, terletak pada pasangan instrumen gamelan yang justru tidak dibuat sama frekuensinya. Perbedaan inilah yang menciptakan resonansi khas sehingga bunyinya terdengar hidup.
"Nah pinternya Nenek Moyang kita ini di musik gamelan itu kan biasanya ada sepasang-sepasang. Kayak Saron dan Gender (instrumen musik) kalo Bali ya. Atau pemade sama kantil gitu biasanya sepasang-sepasang," ungkapnya.
"Kalo di musik barat itu pasangan yang pertama itu sama yang kedua tuh harus sama kan frekuensinya. Kalau Bali justru harus dibedakan. Karena kalo nabrak nada yang ada geseran frekuensinya, itu justru suaranya akan jadi timbul gitu loh, ada hitungannta berapa Hertz contohnya," ucap Guruh.
baca juga:
|
Cara Pandang terhadap Nada "Fals"
Lebih jauh, Guruh menyinggung soal perbedaan persepsi “fals” dalam musik. Jika di Barat ketidakakuratan frekuensi dianggap kesalahan, maka di gamelan Nusantara hal itu bisa diterima sebagai harmoni yang berbeda."Yang kedua persepsi Indonesia tuh tentang fals. Kalo kita anggap musik barat itu mungkin fals ya kalau lagunya nggak frekuensi. Tapi kalo kayak Bali gitu entar dulu gitu loh. Harmoni dan disharmoni itu bisa diterima gitu loh, yang penting bisa masuk ke rasanya tuh gimana gitu," terangnya.
Guruh pun lalu mencontohkan bagaimana musik Nusantara memiliki fleksibilitas yang tak dimiliki dari musik Barat pada era tersebut.
"Bali dan Jawa tuh ibaratnya ada musik dasarnya misalnya kalo di barat mainnya di kunci C gitu. Tapi tau-tau yang nyanyinya di kunci F gitu-gitu tuh. Yang itu orang barat itu dulunya nggak punya, Indonesia punya. Nah itu banyak gak tau sampe sekarang anak-anak generasi penerus tuh," tegas Guruh.
Kesadaran Identitas Musik Guruh Gipsy
Abadi Soesman kemudian menambahkan bahwa kesadaran untuk memadukan musik progresif rock dengan nuansa musik Nusantara lahir dari kegelisahan mereka saat berada di New York."Dulu kebanyakan band-band kita tuh gandrung ke lagu-lagu Barat, sok Barat lah. Saya sama Mas Keenan di New York itu selalu berembuk, kita sebagai seniman mesti apa?" ucap Abadi.
Abadi mengaku gerah ketika mendengar musisi Barat mulai melakukan improvisasi dengan nada-nada yang mirip dengan nada-nada musik dari Bali.
"Improve orang Barat itu sudah mengarah ke nada Bali. Itu yang bikin kita jengkel. Nada itu sudah seperti tanah di Bali yang bisa dicuri. Lagu, kebudayaan kita bisa dicuri juga. Jadi mau nggak mau kita harus berbuat sesuatu untuk negara kita," tegasnya.
Kibordis Guruh Gipsy itu pun lalu menutup dengan tawa kecil ketika sadar bahwa album Guruh Gipsy (1977) bila dilihat dari angka penjualannya, album ini terbilang kurang sukses atau bisa dikatakan diabaikan pada masanya.
"Tapi ternyata emang kurang laku ya, hahaha," tutup Abadi Soesman.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id