Kill The DJ (Foto:Antara/Teresia May)
Kill The DJ (Foto:Antara/Teresia May)

Di Balik Cerita Kill The DJ dan Literatur Sindhunata

Agustinus Shindu Alpito • 23 Juni 2014 10:04
medcom.id, Jakarta: Marzuki Mohammad alias Kill The DJ menciptakan lagu spesial untuk mendukung kampanye capres-cawapres Jokowi-JK.
 
Saat dijumpai Metrotvnews.com di kawasan Tanah Abang, Jakarta Pusat, beberapa waktu lalu, Kill The DJ tengah melakoni syuting video klip lagu yang berjudul 'Bersatu Padu Coblos No 2' itu. Memakai kemeja putih lengan panjang dan celana chinos, Kill The DJ tampak necis.
 
Di sela kesibukan syuting, pria kelahiran Klaten, 21 Februari 1975, ini menyempatkan diri berbagi cerita tentang musik hip-hop yang digelutinya sejak 2003. Kill The DJ adalah roda penggerak sebuah kelompok bernama Jogja Hip-Hop Foundation (JHF), sebuah unit hip-hop yang kental dengan budaya Jawa.

"Tahun 2003 aku bikin JHF. Tujuannya ingin mempromosikan rapper berbahasa Jawa ke level yang lebih tinggi. Soalnya mereka pada waktu itu gitu-gitu saja. Dalam dua tahun bikin JHF susah didorong karena butuh frontman yang mengerti konteksnya dalam  seni dan budaya secara umum dan akhirnya aku turun ngerap," tutur Kill The DJ.
 
Pria ramah ini sebelum dikenal sebagai bagian dari JHF adalah seorang seniman lintas batas yang menekuni performance art, lukis, dan bentuk-bentuk kesenian visual lainnya. JHF sendiri sebenarnya bukan sebuah kesatuan hip-hop yang pakem, melainkan sebuah grup kolektif yang terdiri dari unit-unit rap berpengaruh di Yogyakarta.
 
Dengan lima anggota yang berasal dari tiga unit berbeda, JHF seolah menjadi simbol kesatuan musik hip-hop Yogyakarta dan secara bersama pula menggerakkan cita untuk mengangkat kembali budaya lokal.
 
Kelima anggota itu adalah Kill The DJ, Mamok dan Balance yang tergabung dalam Jahanam, Janu Prihaminanto atau Ki Ageng Gantas atau Anto dan Lukman Hakim atau Rajapati yang tergabung dalam Rotra. Secara perlahan lima personel itu mampu menunjukkan eksistensi rap bahasa Jawa bukan hanya di panggung lokal, tapi juga pentas dunia.
 
Nama JHF mulai menjadi sorotan musik nasional ketika mengangkat literatur-literatur Jawa yang ditulis oleh budayawan yang juga rohaniwan, Sindhunata, dan juga melalui kritik sosial yang tertuang dalam lagu. Karya kolaboratif itu terekam apik dalam album kompilasi 'Poetry Battle 1' (2007) dan 'Poetry Battle 2' (2009).
 
"Karena pas, chemistry-nya nyambung dan disiplin teks tradisional yang ditulis Sindhunata dalam persepsi kontemporer. Teks itu di rap-in enak banget. Yang lebih penting adalah bagaimanapun kita jadi belajar soal akar tradisi. Bagaimana itu diberi konteks kontemporer agar penggemar kita lebih memahami teks-teks itu," terang Kill The DJ mengenai alasan menggunakan karya literatur Sindhunata dalam lirik rap-nya.
 
Setelah lebih dari satu dasawarsa berdiri, apa yang diupayakan Kill The DJ untuk membawa level rapper Jawa ke jenjang yang lebih tinggi, berhasil. Lagu-lagu dari JHF seperti 'Jogja Istimewa' berhasil menjadi anthem yang bukan hanya menghibur telinga. Tapi juga mampu menyulut semangat kesatuan masyarakat Yogyakarta dalam nilai-nilai budaya yang luhur.
 
"Tradisi itu kan bukan seperti kartu pos pariwisata yang absolut. Dia selalu berkembang karena bersinggungan dengan kekinian. Kalau tradisi tidak bersinggungan dengan kekinian, ya segera punah. Tapi ketika hal itu bersinggung dengan kekinian akan menemukan ruang eksistensinya terus menerus. Itu yang lebih penting daripada kita ngomong tentang kebudayaan itu sendiri. Soalnya, kalau enggak diaplikasikan, mending masuk museum saja,” tegas rapper yang kerap mengenakan batik di atas panggung itu.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News

Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id
(ROS)




TERKAIT

BERITA LAINNYA

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan