Sidang yang digelar pada Rabu, 7 Mei 2025 ini membahas Perbaikan Permohonan Pengujian Materiil atas Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dalam perkara Nomor 28 dan 37/PUU-XXIII/2025.
"Sidang Perkara Nomor 28 dan 37 Rabu, 7 Mei 2025 dibuka untuk umum," ujar hakim ketua panel Mahkamah Konstitusi, Saldi Isra.
VISI, yang merupakan inisiatif dari kalangan penyanyi profesional Tanah Air, menyampaikan bahwa ketidakjelasan hukum terkait hak pertunjukan serta sistem perizinan lagu telah menimbulkan kerugian konstitusional nyata.
Baca juga: Penikmat Musik Lokal dan Royalti Musisi Indonesia Naik Drastis |
Ariel NOAH serta musisi yang berada dalam kubu VISI merasa dirugikan akibat praktik direct licensing yang dilakukan secara sepihak oleh pencipta lagu, tanpa melibatkan pihak yang selama ini mempopulerkan karya tersebut.
Dalam sidang tersebut, dua sosok penyanyi yang menjadi perhatian utama adalah Tantri Kotak dan Hedi Yunus. Keduanya menyuarakan langsung bagaimana sistem saat ini berdampak pada hak dan kontribusi mereka sebagai pelaku pertunjukan musik.
Mereka menegaskan bahwa para penyanyi tak hanya sekadar menyanyikan lagu, tetapi juga berkontribusi besar dalam memopulerkan dan memproduksi karya, mulai dari promosi hingga pembiayaan.
Penyanyi yang tergabung dalam VISI merasa keberatan karena mereka turut membesarkan dan mempopulerkan lagu-lagu tersebut, terutama penyanyi original. Bahkan banyak penyanyi yang juga menjadi produser dari karya-karya mereka. Mereka memberikan tenaga, mempromosikannya, dan bahkan mengeluarkan materi untuk karya-karya tersebut.
Salah satu contoh nyata datang dari Tantri, vokalis utama grup musik Kotak. Ia mengaku terpaksa menghentikan penampilan sejumlah lagu hits yang diciptakan oleh mantan rekan se-band-nya karena adanya larangan dan somasi. Padahal, lagu-lagu tersebut telah menjadi bagian penting dari perjalanan karier dan identitas musikalnya.
Seperti diketahui, Posan Tobing yang merupakan pendiri dan mantan pemain drum Kotak memang melarang mantan band-nya itu membawakan lagu-lagu ciptaannya yang dulu dinyanyikan Kotak.
Senada dengan Tantri, penyanyi senior Hedi Yunus dari grup Kahitna juga mengalami hal serupa. Ia tidak lagi bisa membawakan lagu populernya, “Melamarmu”, akibat tekanan dari sistem direct licensing yang memicu kekhawatiran akan konsekuensi hukum.
Menurut VISI, kondisi ini merupakan bentuk ketidakadilan sistemik yang mengancam ruang berekspresi musisi dan pelaku seni pertunjukan. Mereka menilai bahwa praktik semacam ini bertentangan dengan hak konstitusional yang dijamin dalam Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28G ayat (1) UUD 1945, yakni hak atas kepastian hukum, rasa aman, dan kebebasan berkarya.
Hasil Sidang Mahkamah Konstitusi
Dalam persidangan yang digelar pada Rabu, 7 Mei, Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan telah menerima seluruh perbaikan permohonan yang diajukan, termasuk catatan dan masukan dari para hakim konstitusi.Seluruh bukti permohonan yang berjumlah 106 dokumen (P-1 hingga P-106), juga dinyatakan sah tanpa ada satu pun pemohon yang menarik diri dari gugatan. Hal ini menandai rampungnya proses administratif serta penyampaian substansi awal permohonan.
Agenda selanjutnya adalah Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) yang dijadwalkan berlangsung minggu depan. Dalam rapat tertutup tersebut, majelis hakim akan menyampaikan pokok-pokok permohonan kepada seluruh hakim konstitusi.
Jika mayoritas menilai permohonan sudah cukup jelas, maka putusan dapat segera dijatuhkan tanpa melalui sidang pleno. Namun, jika dianggap perlu pendalaman, perkara ini akan dibawa ke rapat pleno untuk dibahas lebih lanjut.
VISI pun berharap MK dapat melihat pentingnya menjamin rasa aman dan keadilan hukum bagi para pelaku pertunjukan, serta mendesak agar UU Hak Cipta dikaji ulang untuk memberikan perlindungan yang setara, adil, dan sejalan dengan prinsip konstitusional.
(Basuki Rachmat)
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News