10 April 2025 menjadi duka bagi siapa saja yang mencintai musik Indonesia. Titiek Puspa pergi untuk selamanya, menutup 87 tahun kehidupannya.
Terlahir dengan nama Kadarwati, Titiek Puspa kecil lemah dan sakit-sakitan. Itu pula yang membuatnya berganti nama sampai akhirnya menjadi Titiek Puspa yang kita semua kenal. Kendati lemah secara fisik, Titiek Puspa kecil tak serapuh kelihatannya. Dia adalah anak yang keras kepala, tak bisa diatur, dan selalu punya cara mewujudkan keinginannya. Sikap ini yang akhirnya membentuk pribadi tanggung dalam berkecimpung di dunia seni.
Dalam wawancara eksklusif bersama Medcom.id, Titiek Puspa membagikan titik balik kehidupannya. Dia bercerita pada suatu hari saat duduk di bangku kelas tiga sekolah dasar, sakit di sekolah. Gurunya yang panik menyuruhnya pulang. Tentu saja tak mudah mengusir si keras kepala untuk takluk pada keadaan. Titiek Puspa memberontak, tapi dia tak punya pilihan. Dia sadar fisiknya tak sekuat teman-temannya. Kala itu hujan deras, dia terpaksa menerjang hujan sembari mengutuk diri, mengapa terlahir begitu lemah. Sampai pada suatu Titiek, tubuhnya bergetar, air matanya beradu laju dengan hujan, dan ia berteriak, "Siapa Maha Penyanyang?
Siapa Maha Pengasih? Aku tidak takut. Aku mau bunuh diri. Tuhan tidak sayang dengan aku." Seketika itu pula suara petir menggelegar. Persis seperti cerita di film-film dengan penggambaran yang dramatis.
Sesampainya di rumah, Titiek mengumpulkan beragam biji dan daun di halaman belakang rumah. Dia mencampur semua itu dan melahapnya dengan harapan tak akan bangun lagi. Namun takdir berkata lain, setelah cukup lama tak sadarkan diri, dia kembali bangun. Tetapi semuanya menjadi berbeda. Titiek menandai momen itu sebagai lompatan kuantum takdirnya. Sejak peristiwa itu dia tak lagi sakit-sakitan, dan menjadi pandai bernyanyi.
Peristiwa itu membawa Titiek Puspa lebih dekat pada Sang Pencipta. Dia berkisah saat kecil sering memanjat pohon yang tinggi dan bernyanyi untuk mengucap syukur pada Allah tak pernah sakit-sakitan lagi dan pandai di kelas.
Baca juga: Semasa Hidup, Titiek Puspa Suarakan Pentingnya Kesejahteraan Pencipta Lagu |
Titiek Puspa dan Simpang Sejarah Indonesia
Titiek Puspa terlibat dalam berbagai peristwa sejarah di Indonesia, baik dalam konteks seni budaya dan juga politik. Pada 1963, Titiek Puspa pernah menjadi bagian dari propaganda pemerintah Indonesia untuk merebut Irian Barat yang kala itu di bawah UNTEA (United Nations Temporary Executive Authority). Titiek Puspa bersama rombongan musisi - termasuk Bing Slamet dan Sam Saimun, dipentaskan di beberapa tempat di Irian Barat. Tujuannya, membangun hubungan emosional dengan masyarakat di sana, menarik simpati hingga akhirnya mereka memilih bergabung ke Indonesia. Hasilnya sesuai harapan pemerintah, banyak dari orang-orang Irian Barat yang memilih bergabung ke Indonesia setelah suguhan pentas musik itu.
Pada dekade selanjutnya, Titiek Puspa punya hubungan yang mesra dengan Orde Baru. Bahkan pernah menulis lagu terinspirasi Soeharto yang berjudul "Bapak Pembangunan." Lucunya, Titiek Puspa tak serta merta begitu saja jadi "penyanyi istana." Dia pernah menceritakan bagaimana dirinya menjaga jarak dari Ibu Tien, justru karena terlampau mendapatkan privilese.
Pada suatu waktu, Ibu Tien menawarkan Titiek Puspa bahwa dirinya mau mewujudkan apapun yang diminta. Tentu dalam konteks mendukung visi (atau lebih tepat menawarkan jalan untuk ambisi) sebagai seorang seniman. Sesaat setelah mendengar itu, justru Titiek Puspa menarik diri dan menjaga jarak. Kompas moral dan spiritual membawanya pada kesadaran untuk membangun batas pada kekuasaan yang akan mengaburkan nuraninya sebagai seniman. Sebuah keputusan yang tepat dan sikap yang menyelematkan reputasi Titiek Puspa sampai akhir hayatnya.
Titiek Puspa adalah Musik Itu Sendiri
Dari segi artistik, Titiek Puspa punya pendekatan kreatif yang unik dalam berkarya. Titiek Puspa selalu berangkat dari nada dalam menulis lagu, kemudian seringkali berpikir soal tema dan lirik kemudian. Naluri tajam kesenimanannya terlihat jelas dari karya-karya yang dibuatnya secara spontan seperti "Gang Kelinci" yang dibuatnya di atas becak, atau "Kupu-kupu Malam" yang lahir setelah mendengar curahan hati seorang perempuan malang. Lebih dalam lagi, Titiek Puspa punya pola acak dalam katalog karyanya. Spektrum tema-tema lagunya sangat luas. Ini merupakan buah dari spontanitasnya yang selalu mendapatkan inspirasi dari situasi apapun. Beda dari musisi era digital yang mungkin punya pertimbangan A, B, C, D - mementingkan trending topic sampai urusan algoritma saat menulis lagu - sehingga sensibilitas menangkap perasaan dalam momen hidup yang berwarna seolah jadi tumpul.
Titiek Puspa juga menjadi simpangan dalam seluruh fase gelombang industri musik Indonesia. Dekade 1960-an misal, lagu "Mari Mari" ciptaan Titiek Puspa dibawakan oleh grup band perempuan pertama Indonesia (dan mungkin dunia), Dara Puspita. Pun juga dekade-dekade berikutnya sampai hari ini. Begitu juga dengan catatan kolaborasinya yang menyapu bersih semua generasi dari era 1950-an sampai 2020-an. Melewati berbagai iklim industri musik dari era piringan hitam, kaset, CD, sampai digital streaming platform.
Sekitar lima bulan sebelum kepergiannya, saya sempat menelpon Titiek Puspa. Meminta pandangannya terkait budaya dalam semangat menyongsong pemerintahan Indonesia yang baru. Meski saat itu kondisinya tak prima, Titiek Puspa selalu berpendar terang jika bicara masa depan anak Indonesia. Harapannya besar pada pendidikan seni yang dapat diakses anak dari keluarga pra-sejahtera, dan adanya kultur teater anak yang hidup untuk membangun pribadi yang punya kesadaran moral dan etika.
"Suaraku tinggal sesenti dua senti lagi," kata Eyang Titiek di ujung telepon, di sela-sela obrolan ngalor ngidul. Saat mendengar ungkapan itu, saya hanya diam. Semangatnya bercerita terlalu sayang untuk disanggah.
Percakapan terakhir kami termasuk mencakup apa-apa saja yang menjadi keresahan Titiek Puspa dalam bidang seni budaya. Dia berharap anak-anak dari keluarga pra-sejahtera mendapatkan akses gratis untuk belajar seni. Sekaligus mendambakan anak-anak Indonesia tumbuh menjadi manusia yang menjunjung tata krama dan etika moral.
Simak wawancara terakhir Medcom.id bersama Titiek Puspa di bawah ini:
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News