Ilustrasi (Foto: Freepik)
Ilustrasi (Foto: Freepik)

Adegan Absurd Anak Joget di Depan Ibu yang Sedang Koma, Apa yang Salah dari Industri Sinema Televisi Kita?

Sunnaholomi Halakrispen • 31 Januari 2021 07:00
Film televisi (FTV) dan sinetron merupakan tayangan yang menghibur dan adiktif bagi sebagian masyarakat. Namun, sejumlah FTV dan sinetron lokal yang disuguhkan televisi hari ini banyak yang memiliki kualitas buruk, premis cerita absurd, dan terkesan membodohi.
 
Memang tidak semua sinema televisi - baik FTV maupun sinetron - di Indonesia yang ada berkualitas buruk. Namun, pendekatan teknis adegan dari sinetron dan FTV satu dengan sinetron lainnya seakan serupa, yakni suara yang menggelegar di adegan tertentu, pengambilan sudut gambar yang berlebihan, atau cerita yang tidak masuk akal. 
 
Hal tersebut menarik perhatian Ketua Komite Film DKJ (Dewan Kesenian Jakarta) 2016-2020 Hikmat Darmawan. Pria yang juga Direktur Kreatif Pabrikultur ini membahas rumor yang beredar mengenai tayangan buruk dalam cuplikan salah satu sinetron Indonesia. 

Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?


Penulis sekaligus pengamat budaya pop ini juga mengulas tentang hal dasar yang harus diperhatikan sineas, agar tidak terjadi kesalahan fatal terhadap hasil karya. Hikmat, yang juga Anggota Sahabat Seni Nusantara ini, turut mengungkapkan bahwa rumah produksi tak bisa semata menjadikan kelas masyarakat tertentu yang menjadi pasar sebagai alasan untuk membuat konsep cerita yang absurd, dan bahkan melecehkan logika. Banyak juga contoh film televisi dan sinetron lokal yang memiliki kualitas baik, dan tetap dicintai masyarakat.
 
Wawancara ini dilakukan tak lama setelah beredar salah satu potongan adegan sinetron yang mempertontonkan seorang anak berjoget di depan ibunya yang sedang sakit parah. Adegan janggal ini mengundang tawa, hujat, dan rasa keheranan warganet. Pasalnya, bagaimana mungkin seorang anak melihat ibunya yang sakit parah tak berdaya, justru berjoget-joget girang. Dan anehnya lagi, sang ibu yang sudah tak sadarkan diri mendadak bangun lihat anak dan suaminya joget. Absurd.
 
Berikut hasil wawancara Medcom.id bersama Hikmat Darmawan:
 

Akhir-akhir ini, salah satu cuplikan FTV viral, tentang seorang ibu terbangun dari koma ketika anak dan suaminya joget Tiktok. Bagaimana pendapat Mas Hikmat terkait kontennya?
 
Saya kemarin pas cuplikan itu ramai, saya lihat sekilas-sekilas. Karena pada dasarnya enggak tertarik. Tapi lewat di timeline itu ada beberapa keramaiannya. Jadi yang saya lihat pertama, tayangan itu acaranya kisah nyata. Buat saya lagi-lagi menunjukkan kegagalan khalayak secara kategori. Kita itu kan hidup di masa susah sekali membedakan apa yang nyata atau buatan. 
 
Itu dipersulit karena di samping media literasinya tidak merata, tentang kerja media seperti apa dan segala macam. Kebiasaan berpikir kritis masyarakat juga tidak ditanamkan dari sekolah bahkan banyak kejadian sekolah menghambat critical thinking. Sehingga hal elementer membedakan mana fakta dan bukan fakta, itu jadi sulit. Maka hoax subur karena itu.
 
Saya bicara ini karena kalau melihat bahasa visualnya, itu kan penuh dramatisasi. Dahulu kita punya literasi media yang dijelaskan di beberapa tabloid (kini tersedia di beragam website), tentang cara kerja kamera dan jenis tayangan televisi. Ada yang namanya docudrama atau adanya dramatisasi dari kisah nyata. Tapi sebagai dramatisasi, dia hanya diakui sumbernya fakta tetapi filmnya difiksikan. 
 
Jadi ketika saya lihat itu rubriknya kisah nyata, tetapi ada aspek yang dramatisasi atau fiksi. Jadi masalah adalah, bukan hanya ada unsur dramatisasi tetapi lebay, penuh emosi, bahkan ada peristiwa yang dibuat-buat. Ada juga masalah sudut pandang yang sangat tidak seimbang terhadap perempuan.
 
Unsur dramatisasi menyebabkan kontennya tidak wajar tetali dilabel sebagai kenyataan. Kemudian, unsur sudut pandang merugikan perempuan secara umum karena mem-frame perempuan menelantarkan keluarganya karena dianggap kewajibannya sebagai ibu dan istri yang didefinisikan harus fokus memasak. 
 
Ketika adegan istrinya memasak hingga gosong karena joget Tiktok, suaminya menggeleng-gelengkan kepala seakan istrinya melakukan kesalahan besar. Padahal saat itu suaminya bisa segera membantu mematikan api kompor tanpa harus memarahi istrinya, having fun saja kan bisa.
 
Anaknya juga bilang, "ibu, ada bau gosong," kok sebegitunya. Aduh yang seperti itu kok berat sekali untuk saya meneruskan menonton sampai sejam. Kedua, sudut pandangnya partiakal. Seolah fungsi perempuan itu begitu saja. Kalau istri harus masak dan tidak boleh joget Tiktok. Padahal joget-joget itu keterampilan yang bisa dihargai. 
 
Jadi dari awal tayangan itu menurut Mas sudah tidak ada keseimbangan terhadap sosok perempuan?
 
Iya. Sudah dipatok bahwa dia meninggalkan tugas atau kewajibannya sebagai seorang istri. Padahal kan bisa saja suaminya yang masak. Kebanyakan juga bisa saja secara genetik laki-laki yang lebih terampil memasak.
 
Di film ini digambarkan kisah yang membawa nama Tiktok. Menurut Mas, hal seperti ini aman ya di perfilman?
 
Saya juga enggak paham, etis enggak ya menyebut Tiktok di dalam konteks negatif oleh sebuah produk film dokudrama seperti ini. Secara etika medianya saya tidak tahu pasti. Karena di film ini digambarkan bahwa Tiktok itu suatu platform yang membuat seorang istri meninggalkan kewajibannya di keluarga. Mungkin pihak Tiktoknya santai saja ya.
 
Kalau ada pihak yang istilahnya menyalahkan penonton dengan mengatakan bahwa penontonnya saja yang tidak bisa memilah mana cerita yang fakta dan mana yang fiksi, bagaimana, Mas?
 
Yang namanya etika media ada melanggar aspek literasi. Karena, yang berbahaya itu menyumbang berkontribusi terhadap buta media di tengah masyarakat, dengan melanggengkan kegagalan kategoris penonton dari segi konteks acaranya. Kalau menyalahkan bahwa penontonnya enggak terdidik, tidak bisa begitu.
 
Contohnya, ibu saya itu teman saya nonton "The Dead Father" ya. Kalau ditanya siapa aktor favoritnya, dia jawab ada di film "Dog Day Afternoon". Saya nonton bareng dan punya literasi bareng ibu saya. Tetapi tahun 1990-an dan 2000-an temannya televisi, ya nonton sinetron karena adanya cuma itu. Padahal dia paham bahwa sinetron itu kibul-nya (cerita bohongnya) lebih banyak.
 
Tapi memang serial lokal yang tersedia di televisi itu masih lanjut dengan tradisi sinetron yang ya begitu deh. Jadi sering kali penonton, sadar atau enggak sadar, melek literasi atau enggak, itu karena hanya tersedia itu saja. Seperti kasus ibu saya, pendidikannya enggak tinggi tetapi dia bisa kok menikmati "The Dead Father". Tetapi kemudian dia nonton sinetron karena terpaksa di televisi hanya ada itu series lokal kita.
 
Embel-embel tayangan yang menyebut kisah nyata adalah menyesatkan?
 
Exactly. Itu yang menyebabkan acara itu berkontribusi terhadap kegagalan kategoris yang sedang menjadi penyakit sosial masyarakat kita sekarang. Jadi segala yang lebay dalam dramatisasi tayangan itu termasuk sudut pandang yang tidak seimbang terhadap perempuan, itulah kenyataannya. Itu lah masalahnya. Dan melestarikan stereotip ya. Perempuan seakan tidak bisa atau melawan kodrat ketika mempunyai hasrat untuk melatih keterampilan menari, hanya harus mengerjakan pekerjaan rumah. 
 
Saya emosinya karena dari dulu kok begini-begini aja ya kreator kita. Meskipun, saya enggak percaya bulet teori yang menyatakan bahwa media pasti berpengaruh terhadap perilaku masyarakat. Tetapi masalahnya, kok tontonan kita jadinya sampah. Itu dampak besarnya bisa mengurangi selera dan daya tanggap masyarakat terhadap karya seni. Kayak enggak ada pilihan lain dna enggak ada pertanggung jawaban dari kreator atau rumah produksi. 
 
Saya bukan berharap ada tayangan sinetron yang elit atau kualitas tinggi banget, tetapi setidaknya batas bawahnya bisa benar. Jadi di dalam industri di televisi, tanggung jawab kreator itu kan menaikkan standar bawah ya. Jadi dengan kata lain, tontonan jeleknya sinetron kita ya begini levelnya.
 
Tetapi saya sudah kenyang dengan alasan, "ya itu yang diminta penonton." Yaelah. Kalau begitu, saya jawab kalau penonton itu menerima apa yang tersedia di televisi. Kalau struktur modelnya itu tayangan sampah, maka dia akan membanjiri penonton dengan tayangan sampah dan seakan penonton tidak diberi pilihan tontonan yang lebih baik, lebih sehat, atau lebih berguna.
 
Kebanyakan sinetron mengisahkan tentang perilaku dari beragam kelas sosial di kehidupan cerita sinetron itu. Hal itu seharusnya menggambarkan perilaku masyarakat sesuai fakta? 
 
Cerita tentang perilaku, ada kritik sosial ya. Kalau mau kritik sosial, harus ada analisis walaupun hasil kreatifnya yang enggak harus ceramah ya. Tapi saya lihat, filmmaker menganalisisnya berdasarkan stereotip dengan single naratif. Padahal seni itu seharusnya multiple naratif dan sinetron itu seni. 
 
Single naratif itu sinetron harus begini, close up berkali-kali ke alis, musiknya mengguncang, template musik yang cari anak orkestra dramatis kayak pasukan kuda mau nyerang apa gitu. Kalau ada sinetron yang mau membuat sinetron tidak seperti itu, dianggap tidak wajar atau tidak laku.
 
Kalau tayangan sinetron tetap seperti ini, masyarakat dibiasakan dengan single naratif atau dibiasakan mengonsumsi tayangan yang itu-itu saja. Padahal dalam kenyataan kan kita diverse naratif. 
 
Terkait dengan logika film, pada adegan seorang istri yang koma kemudian bisa terbangun karena anak dan suaminya joget Tiktok, menurut Mas adegan itu termasuk membodohi masyarakat?
 
Saya sudah enggak ngerti lagi bisa begitu ya. Saya enggak tahu apakah ini bisa membodohi masyarakat atau memang mau bercanda. Ampun deh. Kan ada kategori harusnya dia masuk docudrama dari kisah nyata terus didramain. Orang harus mengerti bahwa ada dramatisasi sebetulnya. Nah saya mau bilang bahwa ini bukan hanya docudrama tapi ini docu-melodrama. Jadi semuanya lebay. Jadi bukan alih-alih hanya dramatisasi yang itu saja bisa jadi problem kalau tidak melek media. Ini bahkan melo-dramatisasi. Yaelah sampai koma, sampai bangunnya gara-gara Tiktok, ya Tuhan. 
 
Kalau maksudnya dari awal untuk tayangan parodi enggak apa-apa. Tetapi itu kan di awalnya serius, di akhirnya kayak parodi tapi kita enggak yakin apakah itu parodi dari kreatornya. Dia membuat cerita itu merasa logika dalamannya begitu, atau dia dalam semangat meledek. Kalau menurut saya sih yang sering terjadi dia merasa ya begitu lah logika ceritanya yang artinya tidak logis. Logika ceritanya gagal. Karena ingin melo drama ya lebay.
 
Saya malah enggak apa-apa sih kalau obatnya (koma) adalah Tiktok. Karena saya menganggapnya sebagai bercanda. Tetapi kalau kita serius menilai dari segi ceritanya kemungkinan dia merasa logika ceritanya masuk, padahal untuk kita enggak.
 
Berdasarkan analisa Mas, apakah sutradaranya sadar saat membuat logika cerita yang seperti itu?
 
Sadar dalam arti memang mau membuat parodi atau sadar bahwa dia sedang membuat cerita yang berlebihan. Dalam arti dia emosi karena melo-drama. Jadi seakan kurang emosional, kurang dramatis. Itu melo-drama. Ini sadar membuat ceritanya tapi enggak sadar kalau ceritanya ini membuat lucu.
 
Sadar membuat parodi atau tidak sadar menjadi parodi ya. Tetapi kalau dengan sadar untuk meledek, itu lain. Dua-duanya melakukan dengan sadar. 
 
Kan banyak tuh film horor yang penontonnya ketawa. Itu biasanya filmmakernya enggak sadar dampaknya membuat ketawa, karena membuat filmnya serius untuk seram. Lain halnya kalau membuat film horor yang ada lucunya, karena filmmaker berniat meledek.
 
Menurut Mas Hikmat, bagaimana nih saran untuk para sineas?
 
Kasihan ya jadi ada beban. Tetapi seharusnya filmmaker jujur saja sama pentonton, jangan mengasumsikan penonton itu kayak begini. Itu yang saya tidak suka, sikap memastikan bahwa penonton maunya begini. Itu melihat atau ngobrol benaran tidak tentang apa yang menjadi masalah masyarakat. Dalam hal Tiktok misalnya atau rumah tangga, apa yang menjadi masalah.
 
Sering kali kreator itu enggak jujur. Mengasumsikan saja maunya penonton. Tetapi balik lagi ke contoh ibu saya. Pendidikannya enggak tinggi, tetapi dia bisa tuh menikmati sinetron. Saya enggak terima kalau alasannya karena masyarakat pendidikannya rendah jadi enggak bisa diberikan sinetron yang canggih. Kalau ada yang bilang begitu, mana hasil surveinya saya mau lihat. Ada samplingnya dari mana.
 
Lalu, apa saja sinetron yang bagus, Mas?
 
Menurut saya, "Si Doel" dan "Bajaj Bajuri" itu contoh yang bagus, bahwa dia mengamati dengan benar masyarakatnya. Toh laku juga. Secara ekonomi juga lebih bagus ceritanya.
 
Ceritanya bagus dan dia jujur bisa mengamati masyarakat masalahnya apa aja. Dia mengamati masyarakat yang dia jadikan subjek ceritanya, dengan benar-benar. Ketika Si Doel ada adegan dia ziarah ke makam kakeknya yang sudah menjadi lapangan golf itu kan amatan sekaligus kritik yang luar biasa kan. Bisa jadi relate, lucu, dan sedih juga. Bisa sampai kepikrian bikin adegan itu gimana sih? Itu karena jujur menggambarkan kondisi masyarakat sekitar.
 
Kalau sudah mikir begitu dan hasilnya jelek, ya enggak apa-apa juga. Namanya juga usaha. Sikap dasarnya yang penting. Jujur yang bukan hanya ingin mencari uang dengan cepat atau viral tetapi mengatasnamakan masyarakat inginnya begini atau begitu. Itu kan enggak jujur.
 
 
(ASA)




LEAVE A COMMENT
LOADING

Dapatkan berita terbaru dari kami Ikuti langkah ini untuk mendapatkan notifikasi

unblock notif