Salah satu program yang diselenggarakan adalah Bali Film Forum (BFF). Artis senior Tantowi Yahya hadir sebagai moderator dalam acara yang berlangsung dalam tiga sesi.
Ada 70 peserta yang terdiri dari pelaku industri perfilman dari Australia, Selandia Baru, Hong Kong, Malaysia, Amerika, Inggris, India, maupun Indonesia.
Dari tiga sesi pembahasan menyangkut industri perfilman jelas tergambarkan keinginan pelaku industri agar Indonesia tidak melewatkan kesempatan menjadi tujuan produksi film-film berkelas dunia dan menjadikan Indonesia mampu menjadi penggerak ekonomi kreatif di kawasan Asia.
Dalam kesempatan itu, Tantowi menceritakan pengalamannya ketika menjadi Duta besar Selandia Baru. Dia melihat langsung bagaimana Selandia Baru membangun studio digital visual efek WETA Digital. Studio yang ada di Wellington itu sekarang dipercaya studio-studio besar untuk pekerjaan digital visual efek film-film Hollywood.
"Weta Digital adalah contoh bagaimana menyatukan kemampuan kreatif individu menjadi raksasa industri dengan tenaga kreatif berkelas dunia," ucapnya.
baca juga: Ini Alasan Nimas Mau Kisah "Neraka 10 Tahun" Diadaptasi Jadi Film |
Acara ini juga menghadirkan pembicara lain seperti Robert Ronny (Paragon Pictures – Indonesia), Sakti Parantean (Fremantle Indonesia), Felix Tsang (Hong Kong), Samuel Hordem (Produser, Distributor, Filantropis – Australia). Mereka sepakat memperbesar dan memperluas pasar industri film menjadi salah satu strategi menjadikan film memiliki nilai tambah dan dampak multiplier yang luar biasa.
Industri kreatif Indonesia harus mampu memperbesar skala industri perfilman dengan merebut potensi pasar lokal maupun global. Pendapatan industri perfilman tidak berhenti di angka Rp 90 triliun di tahun 2022. Angka ini merupakan multiplier yang mencakup sektor film, musik, animasi, fotografi.
Faktor memperluas pasar, memaksimalkan kemampuan sumber daya, mencari bentuk kerja sama produksi, relasi sosial dalam cerita, secara keseluruhan merupakan upaya memperluas pasar dan bisnis industri perfilman. Stanley Kwan, sutradara dan produser kawakan Hong Kong, punya pandangan yang sama.
Hal itulah yang membuat buat dia menggandeng sutradara muda perempuan, Sasha Chuk menggarap film Fly Me to The Moon yang menjadi film pembuka festival Balinale, Menyandingkan produser berpengalaman dengan sutradara muda yang memiliki pemikiran-pemikiran eksploratif merupakan usaha pemerintah Hong Kong mempertahankan kemajuan industri perfilmannya.
"Mereka bahkan mengucurkan dana besar untuk memproduksi film-film kolaborasi dengan tema-tema mutakhir, drama-drama humanis, isu-isu sosial yang kuat, hingga merekrut pemain-pemain muda bertalenta," katanya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News