Buaian Musik Tradisional Indonesia

Pelangi Karismakristi • 01 Juli 2015 17:24
medcom.id, Jakarta: Musik tradisional merupakan musik yang hidup di masyarakat secara turun temurun, dipertahankan sebagai sarana hiburan. Namun, belakangan ini tradisi peminat alat musik etnis makin sepi.
 
Berkurangnya peminat musik tradisional maupun alat musik etnis disebabkan bahan baku yang mahal, pembuatan sulit, dan memakan waktu lama, serta rendahnya daya beli pelaku seni. Namun, masih tetap ada yang mempertahankannya hingga kini dengan cara mereka sendiri.
 
Yovie Widianto ingin mengajak kita semua untuk mengenal lebih dekat para pelestari musik tradisional Indonesia. Tujuan pertama Yovie kali ini yaitu ke Kota Khatulistiwa, Pontianak.

Christian Mara merupakan seniman musik tradisional multi talenta nan nyentrik. Ia mampu membuat alat musik etnis Dayak dan Melayu, memainkannya, dan juga menulis lagu.
 
"Yang menjadi ciri khas alat musik buatan saya adalah secara keseluruhan sudah bisa menyesuaikan dengan alat musik elektrik," papar lelaki Dayak Jangkang yang akrab disapa Pak Mara itu kepada Yovie.
 
Salah satu dari sekian banyak alat musik hasil karya Pak Mara adalah sape atau gitar khas Dayak. Sape dibuat dari kayu pelai atau jelutung. Sape hampir mirip gitar, namun bentuknya persegi panjang dan memiliki hiasan ukiran Borneo di pinggirnya.
 
Alat musik etnis lainnya yang mampu dibuat Pak Mara yaitu sensarot. Alat musik ini terbuat dari dua bahan baku berbeda, namun hanya dimainkan satu orang. Jika ditabuh bersamaan, sensarot bisa menghasilkan harmonisasi suara berbeda yang indah.
 
Selanjutnya, Yovie mengajak kita ke bagian timur Indonesia. Ambon merupakan kota dengan julukan `City of Music`, jadi tidak heran jika banyak terdapat sanggar musik terkenal di sana.
 
"Ambon sedang giat-giatnya menghapus stigma sebagai kota yang kurang aman dan tidak stabil. Kita ada program 'Mangente Ambon 2015`, ini adalah gerakan moral untuk kepedulian masyarakat Ambon pada khusunya dan di seluruh Indonesia pada aumumnya," kata Wali Kota Ambon, Richard Louhanapesy.
 
'Mangente Ambon' bisa diartikan sebagai Visit Ambon. Dengan gelaran ini, wisatawan dapat mengenal Ambon sebagai kota wisata yang aman, indah dan harmonis.
 
Salah satu bentuk kegiatan gerakan moral ini melalui pertunjukan musik yang melibatkan Molucca Bamboo Wind Orchestra (MBO), sebuah orkes suling bambu paling fenomenal di Ambon. Sejak 10 tahun silam, MBO terlibat aktif mempelopori aksi moral melalui musik.
 
Orkes Musik Hadrat Batu Merah dan Sanggar Seni Wairang Negeri Soya dari komunitas berbeda juga ikut andil dalam konser tahunan ini. Komunitas Batu Merah dikenal melalui Hadrat, yaitu musik tradisional bagi umat muslim di seluruh Indonesia.
 
Perjalanan Yovie selanjutnya ke ujung timur Jawa, yaitu Banyuwangi. Di Kota Bumi Blambangan ini, kita diajak menikmati musik tradisional kuntulan. Dalam penyajiannya, kuntulan cenderung membawakan lagu-lagu berbahasa Arab yang diambil dari cuplikan kitab suci Al-Qur’an
 
"Kuntulan bermula dari hadrah rebana yang ditambah alat musik lain. Kuntulan berasal dari bahasa Arab, kuntu artinya saya dan lail artinya malam. Jadi para santri di luar jam pengajian menyempatkan diri berlatih musik kuntulan ini," papar seniman Kuntulan, Sahuni.
 
Menarik bukan? Mau tahu kelanjutannya? Simak perjalanan Yovie Widianto dan Renitasari Adrian dalam IDEnesia di Metro TV pada Kamis (1/8/2015) pukul 22.30 WIB. Jangan lupa, ikuti kuis IDEnesia dan Galeri Indonesia Kaya dengan follow twitter @IDEnesiaTwit atau @IndonesiaKaya.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(NIN)




TERKAIT

BERITA LAINNYA

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan